HARUSKAH PEREMPUAN RESAH, SAAT TAK SETARA ?


HARUSKAH PEREMPUAN RESAH, SAAT TAK SETARA ?
By Azizah S.PdI
Penyuluh Agama Pada KUA Kec. Wongsorejo Kab. Banyuwangi


Ada Apa dengan Perempuan?

            Kemiskinan, kekerasan, ketidakamanan, ketidakadilan, eksploitasi, dan penindasan kaum perempuan adalah deretan cerita panjang yang dinarasikan sebagai akumulasi persoalan yang tengah dihadapi kaum perempuan. Laporan perekonomian 2019 Badan Pusat Statistik (BPS), yang mencatat kesenjangan antara upah pekerja laki-laki dan perempuan selama periode 2015- februari 2019 selisihnya mencapai Rp 492,2 ribu menjadi tolak ukur terjadinya kemiskinan perempuan Indonesia. Kemiskinan juga terindikasi dari ketidakmampuan memperoleh pendidikan layak, sehingga
berdasarkan perbedaan gender angka buta aksara pada perempuan mencapai 2.258.990 orang, dan laki-laki 1.157.703. Sementara kekerasan pada perempuan didapati telah mencapai 348.466 kasus di tahun 2018 dan 406.178 kasus tahun 2019. Kasus tertinggi yang terjadi di dalamnya adalah kekerasan dalam ranah privat, dengan angka kekerasan pada istri menempati peringkat pertama yakni 5.114 kasus.

Inilah potret suram yang dinisbatkan dengan istilah “persoalan perempuan”. Ibarat gunung es permasalahan ini seolah “memaksa” perempuan untuk merasa tidak puas hanya berkutat di lingkungan dapur, sumur, kasur. Mereka resah....gelisah, dan kecewa. Dunia seperti tidak adil dalam memperlakukan wanita dan menempatkan mereka di posisi kedua setelah laki-laki, sehingga harus terpojok, tertindas dan dieksploitasi.

Maka, isu kekerasan, kemiskinan, dan diskriminasi semakin lekat dalam setiap perbincangan mengenai perempuan. Hingga memunculkan kesan bahwa persoalan tersebut hanya “milik“ perempuan. Harus perempuan yang berjuang untuk menyelamatkan ‘dirinya’ dari keterbelakangan dan ketertindasan, sehingga perempuan dapat setara dengan laki-laki di semua ranah kehidupan, umum maupun privat. Inilah yang akan menjadikan status kehidupan perempuan menjadi lebih baik.

Memandang Permasalahan Perempuan

                Ketika melihat persoalan perempuan maka idealnya kita tidak menggunakan sudut pandang keperempuanan saja, yang menyebabkan pandangan bahwa perempuan adalah sosok yang berdiri sendiri dan terpisah dari laki-laki. Sehingga ketika perempuan memiliki masalah, haruslah perempuan itu sendiri yang berupaya menyelesaikannya dengan cara dan metode tertentu.

Adalah pilihan tepat ketika perempuan ingin memecahkan masalahnya berstandarkan pada apa yang digariskan oleh Allah SWT Dzat yang paling mengerti tentang perempuan. Dialah pencipta dan pengatur kehidupan perempuan. Maka perlu disadari bahwa Allah swt, menghadirkan makhluk bernama perempuan di dunia, bukan untuk menyaingi, tapi untuk membersamai kaum lelaki. Keduanya memiliki garis fitrah yang berbeda. Bukan hanya fisik, tapi juga psikologis. Karena itu, sudah pasti berbeda perannya dalam kehidupan. Namun perbedaan ini, bukan berarti diskriminasi. Justru inilah harmonisasi yang dirancang apik oleh Ilahi Rabbi. Sebab Allah swt menjadikan pada keduanya rasa ketergantungan satu dengan lain, bahkan dalam persoalan kelanjutan generasi pun bergantung pada keberadaan keduanya. Rasulullah saw bersabda :Wanita adalah syaqa’iq (saudara kandung) pria.” (HR. Abu Dawud)

Dengan demikian keberadaan laki-laki dan perempuan adalah sama, setara. Allah swt menjadikan perempuan sebagaimana laki-laki memiliki potensi berupa akal, naluri, dan kebutuhan jasmani. Dengan potensi tersebut Allah menetapkan pada keduanya peran yang beragam, yaitu sebagai hamba Allah, anggota keluarga, dan anggota masyarakat. Serta  memberikan seperangkat aturan yang harus dilaksanakan oleh laki-laki dan perempuan untuk dapat menjalankan perannya, sehingga keduanya dapat terjun dalam kancah kehidupan dengan tenang dan tentram.

Pembagian Peran, Solusi Kesetaraan

Sebagai hamba Allah, laki-laki dan perempuan mendapatkan perintah untuk melaksanakan aturan yang sama, seperti sholat, puasa, zakat, menuntut ilmu, dan sebagainya. Namun berbeda halnya ketika mereka berposisi sebagai anggota keluarga maupun anggota masyarakat, maka Allah swt membebankan hak dan kewajiban yang berbeda, dalam kaitannya dengan peran, fungsi, kedudukan, maupun posisi masing-masing dalam masyarakat. Allah swt mewajibkan kepada laki-laki untuk mencari nafkah dan melindungi keluarganya, berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Sebaliknya, kepada perempuan Allah membebankan tugas pokok sebagai ibu dan pengelola rumah tangga sesuai tabiat keperempuanannya, sebab perempuan telah dikaruniai kemampuan memikul tanggung jawab sebagai ibu, seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak. Dengan demikian perempuan memerankan diri sebagai pemimpin rumah tangga suami dan anak-anaknya. Hal ini bermakna peran kepemimpinan yang utama bagi perempuan adalah merawat, mendidik, dan memelihara anak-anaknya. Juga berperan membina, mengatur, menyelesaikan urusan rumah tangga agar memberikan kenyamanan bagi anggota keluarga lainnya. Dengan peran ini sesungguhnya perempuan telah berkontribusi besar kepada masyarakat dan negara. Sebab perempuan telah menjadi tumpuan lahirnya generasi, mendidik dan mencetak mereka menjadi individu-individu yang sholih dan sholihah ditengah-tengah masyarakat, dan di tangan merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan.

Namun demikian, adanya perbedaan peran laki-laki dan perempuan ini tidak berarti yang satu lebih tinggi dari yang lain. Sebab kemuliaan seseorang tidak dapat dilihat dari jenis kelamin, atau kedudukannya. Sebagaimana firman Allah swt :

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS Al Hujurat : 13)    

            Berkaca pada masa lalu, di masa Rasulullah saw seorang shahabiyah mengajukan pertanyaan yang “mengugat” peran dan posisi perempuan, jadi bukan baru sekarang perempuan menggugat, hanya bedanya, gugatan perempuan masa lampau adalah berlandaskan ketaqwaan, karena begitu ingin berlomba untuk meraih kemuliaan dihadapan Allah swt. Sebagaimana tercatat dengan tinta emas sejarah, ketika seorang Asma’ binti yazid menyampaikan pertanyaan kepada Rasulullah saw :

“Ya Rasulullah, aku mewakili kaumku untuk bertanya kepada engkau, Bukankah Allah  mengutusmu untuk seluruh umat, baik laki-laki maupun wanita. Kami beriman kepadamu, dan Tuhanmu, namun kami merasa diperlakukan tidak sama dengan kaum laki-laki. Kami adalah golongan yang serba terbatas, dan terkurung. Kerja kami hanyalah menunggu rumah kalian, memelihara dan mengandung anak kalian. Kami tidak diberikan kesempatan untuk melakukan seperti yang dilakukan kaum laki-laki. Kami tidak diberi kesempatan mendapat pahala sholat jumat, menengok orang sakit, merawat jenazah, berhaji (kecuali dengan mahram kami), dan amalan yang paling utama jihad fi sabilillah. Ketika kalian pergi berjihad, kami bertugas menjaga harta dan anak-anak kalian, serta menjahit pakaian kalian. Apakah mungkin dengan itu kami memperoleh pahala dari amalan yang kalian lakukan ? “.

Manusia sekaliber Rasulullah saw begitu takjub mendengar pertanyaan-pertanyaan semacam itu, beliau lalu menjawab, “Asma fahami dan sampaikan kata-kata ini kepada kaummu. Pengabdianmu kepada suami dan usaha mencari kerelaannya telah meliputi dan menyamai semua yang dilakukan suami-suami kalian (laki-laki)”.

Artinya...inilah kesetaraan sesungguhnya yang dimaksudkan oleh Islam. Yaitu laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab dan peran seimbang sesuai dengan potensi dan kelebihannya, tanpa harus merasa saling iri dan dengki dengan perbedaan jenis, peran dan posisi kelebihan yang dimiliki sebagian yang lain, karena boleh jadi perbedaan itu adalah untuk saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya. Allah swt berfirman :

“Janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (Sebab) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nisa’: 32).

Maka haruskah perempuan resah karena tak setara?? jawabnya tentu tidak......karena Allah swt sebaik-baik pencipta dan pengatur telah menempatkan perempuan pada posisi yang mulia sebagaimana halnya laki-laki. Maka mewujudkan keserasian dan keseimbangan di antara keduanya akan menjadi sebuah kekuatan besar untuk membangun bangsa. Wallahu a’lam





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama