DILEMA MUDIK DI TENGAH CORONA



DILEMA MUDIK DI TENGAH CORONA 
Oleh : Huriyah Azizah, S.PdI

            Sebagai muslim kita patut bersyukur, hingga detik ini masih berjumpa dengan bulan mulia Ramadhan 1441 H meski dalam kondisi pandemi covid-19. Sebagaimana nasib berbagai negara di belahan dunia, Indonesia pun terdampak wabah corona. Menurut juru bicara pemerintah untuk pandemi covid-19 hingga senin, 27/4/2020 terdapat 8.882 kasus dengan korban meninggal dunia 743 orang. Sungguh memprihatinkan.


            Mencermati perkembangan ini boleh jadi keganasan virus corona terus bertambah hingga beberapa waktu ke depan. Oleh karena itu pemerintah memberikan sinyal supaya masyarakat tidak mudik ke kampung halaman pada lebaran tahun ini. Agar dapat memutus rantai penularan covid-19. Langkah pelarangan mudik ini jelas berujung kekecewaan. Khususnya bagi masyarakat yang sudah tidak lagi memiliki pekerjaan karena di-PHK, maupun mereka yang mengalami kebangkrutan usaha di tanah rantau serta terimbas oleh lambatnya laju perekonomian akibat corona.

            Sebagai tindak lanjut dari keputusan pemerintah ini, regulasi transportasi diberlakukan. Dijadwalkan sejak 24 April 2020 hingga 2 syawal 1441 H, pesawat terbang, kereta api, bus dan angkutan darat lainnya tidak bisa lagi beroperasi. Mereka dilarang mengangkut penumpang komersial. Walhasil tertutup sudah peluang mudik bagi masyarakat.

Mudik, Haruskah?

            Menuju udik alias mudik adalah saat dimana seseorang pulang dari kota dan kembali ke kampung halamannya. Ini sebuah tradisi tahunan yang kerap dilakukan utamanya jelang lebaran. Karena Idul Fitri adalah hari kemenangan, lebaran saatnya bermaaf-maafan. Aktivitas yang sudah melekat di hati masyarakat ini seolah ‘kewajiban’, sehingga menjadi tak afdhol jika tidak tertunaikan. Berbondong-bondong mudik agar bisa bertemu dan bercengkrama dengan keluarga dan karib kerabat.

            Namun tahun ini masyarakat harus menelan ludah. Hanya bisa bernostalgia menikmati kebahagiaan berpuasa di bulan ramadhan dan berlebaran di rumah saja. Alih-alih melepas kerinduan pada kampung halaman, mudik di musim covid-19 ini justru membahayakan diri sendiri dan keluarga. Mengingat penularan covid-19 sangat cepat. Satu orang pasien positif dapat menginfeksi setidaknya pada dua orang sehat, demikian WHO meyebutkan. Bahkan Stephen Morse ahli Epidemilogi menyatakan adanya transmisi penularan yang signifikan dari orang-orang yang tidak memiliki gejala covid-19. Artinya saat mudik, boleh jadi kita terpapar ratusan hingga ribuan orang selama perjalanan. Kita pun tidak bisa mendeteksi siapa diantara mereka yang bisa menularkan virus. Sesama pemudik, penjaja makanan, petugas tiket, sopir, masinis ataukah yang lainnya. Maka tanpa sadar setelah tiba di kampung halaman, ternyata kita datang bersama tamu tak diundang, corona. Betapa sedihnya. Tentu tidak ada yang menginginkan hal ini terjadi. Jadi pilihannya stay at home saja.

Mudik Pasti, Mudik Hakiki

            Sesungguhnya puasa ramadhan tahun ini lebih berat dibanding sebelumnya. Karena di bulan ramadhan ini kita dihadapkan pada dua ujian kesabaran. Pertama, sabar dalam ketaatan kepada Allah swt, menahan diri untuk tidak makan, minum, ataupun berhubungan suami istri. Kedua, sabar dalam menghadapi musibah. Sebab kenyataannya wabah corona merajalela dan menimbulkan dampak di segala bidang kehidupan.  

            Sebelum covid-19 menjangkiti negeri ini nyatanya kesulitan ekonomi telah menampar kehidupan masyarakat. Memenuhi kebutuhan pangan yang mendasar saja susah, sebab tidak ada yang bisa digunakan untuk membeli makanan dan minuman. Ketika ramadhan tiba bersama dengan merebaknya virus corona, kondisi masyarakat yang terhimpit ekonomi semakin merana. Keterpurukan meningkat frekuensinya, semakin berlipat ganda. Namun bagi seorang muslim kesulitan ekonomi tidak akan menghalanginya untuk menjalankan perintah puasa. Sehingga saat tidak makan dan minum, semata-mata bukan karena tidak mampu membeli, tetapi karena menjalankan perintah Ilahi yang diyakini kemaslahatan, kebaikan dan keberkahannya. Sebab ramadhan adalah bulan penuh rahmat, berkah dan ampunan. Maka menahan diri dari makan, minum lantaran tidak ada rizki, meniscayakan nilai kesabaran menjalani ketaatan pada Allah lebih menghujam pengaruhnya ke dalam jiwa.

            Demikian pula saat menghadapi kekecewaan karena gagal mudik. Lalu memutuskan tetap tinggal di rumah, adalah perkara yang sulit dan berat. Tapi pilihan ini tentu bukan karena takut atau tidak yakin dengan qadha Allah swt. Melainkan buah dari kesabaran terhadap musibah yang Allah berikan. Pilihan tidak mudik meski terpaksa pada akhirnya menjadi sumbangsih pencegahan wabah covid-19 sehingga tak semakin meluas. Jika dilihat dari kacamata islam, aktivitas ini pun sejalan dengan petunjuk Rasulullah saw sebagaimana dalam sabdanya :

“Tidaklah seorang hamba saat tha’un (wabah) terjadi, berdiam di negerinya seraya bersabar dan mengharap ridha Allah, dan dia menyadari bahwa tidak menimpa dirinya kecuali apa yang telah Allah tuliskan untuk dia, kecuali bagi dia pahala semisal pahala syahid” (HR  Al Bukhari dan Ahmad).

            Jika kesadaran semacam ini terbangun, pastilah seorang mukmin tidak akan mencela keberadaan pandemik corona dan dampaknya, sebagai penghalang bertemu dan berkumpulnya mereka dengan keluarga. Karena gagal mudik hanyalah ekses negatif dari munculnya pandemik. Sehingga kita tak layak kecewa. Justru dengan tidak mudik terbuka kesempatan luas bagi kita untuk menginsafi diri. Meningkatkan ibadah di bulan ramadhan, membangun kedekatan dengan Tuhan.

            Tak bisa mudik di saat pandemik corona, mungkin pertanda Allah swt sedang mendidik kita. Melatih untuk bersabar. Mengingatkan supaya sadar, bahwa saatnya nanti pun kita akan pulang ke kampung halaman. Mudik ke kampung akhirat dan tak pernah balik lagi. Maka sisa waktu yang kita miliki saat ini haruslah menjadi penyemangat untuk mempersiapkan diri. Menyambut saat ‘mudik’ itu datang. Kembali pulang pada sang pemilik kehidupan. Berbekal iman dan ketaqwaan.

            Hal yang patut disyukuri karena Allah swt mempertemukan kita dengan bulan ramadhan bersamaan dengan merebaknya corona. Mungkin Allah swt sedang ingin menakar seberat apakah keimanan kita ketika kondisi sedang sulit dan diliputi suasana duka. Barangkali Allah pun tengah menilai apakah hamba-hambaNya masih mampu bertahan dalam keimanan di tangah bertubi-tubinya ujian, atau justru jatuh terkapar. Jika kita masih tangguh dan mampu bersungguh-sungguh, menetapi keimanan, meningkatkan ketaqwaaan, dan istiqomah menjalankan syariatNya walaupun harus berhadapan dengan derita corona. Niscaya Allah swt akan memberikan ganjaran berlipat ganda.

Maka, menjadikan ramadhan ajang untuk meraih pahala. Sebagai tumpuan untuk mengumpulkan sebaik-baik perbekalan adalah pilihan yang benar. Allah swt berfirmanNya :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa.” (TQS Al Baqarah: 183)

Taqwa Bekal ke Kampung Halaman

            Dalam Subul al Huda wa ar Rasyad, Imam Ali bin abi Thalib ra menyampaikan bahwa taqwa itu ditandai dengan empat hal. Pertama, memiliki rasa takut kepada Allah yang Maha Agung. Kedua, mengamalkan Al quran. Ketiga, ridha dengan yang halal walau sedikit. Keempat, mempersiapkan bekal untuk menghadapi hari penggiringan (hari kiamat).

Dijelaskan pula dalam Al quran bahwa Taqwa adalah pembuka datangnya rizki dari jalan yang tidak terduga. Sebagaimana firmanNya :

“Siapa saja yang bertaqwa kepada Allah, Dia pasti akan memberikan jalan keluar bagi dirinya dan akan memberi dia rizki dari arah yang tidak dia sangka.” (TQS. At Thalaq : 2-3).

Allah swt juga menjamin siapa saja yang bertaqwa akan dimudahkan memperoleh jalan keluar dalam urusan dunia maupun akhirat. Serta menjadi sebab datangnya ampunan Allah swt :

“Siapa saja yang bertaqwa kepada Allah, Dia pasti akan menjadikan urusannya mudah. Siapa saja yang bertaqwa kepada Allah, Dia akan mengampuni kesalahan-kesalahannya dan memberi dia pahala yang besar” (TQS. At Thalaq : 4-5).

            Hanya saja menyandarkan ketaqwaan pada individu saja belumlah. Dibutuhkan adanya   penguatan dan penopang dari masyarakat dan negara sehingga pilar ketaqwaan individu dapat berdiri sempurna. Mampu melaksanakan apa yang menjadi perintahNya, dan meninggalkan yang dilarang sebagaimana telah dijabarkan melalui hukum-hukum syariah dalam kehidupan. Semua ini akan meniscayakan kemaslahatan dan menjadi garansi bagi setiap hamba yang akan pulang ke kampung halaman, sejati.()
*Penulis adalah Penyuluh Agama Islam pada KUA Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama