Hadis Harian 17: Wahyu Pertama, Awal Kelahiran Umat Muhammad SAW

Dari Aisyah RA, ia berkata: “Wahyu pertama diterima Rasulullah SAW adalah dalam mimpi yang benar, ketika Malaikat Jibril mendatangi beliau, seraya berkata: (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah Yang mengajar (manusia) dengan pena)”. (HR. Bukhari)

Penjelasan Hadis
Hadis yang diriwayatkan dari Aisyah RA ini menceritakan proses turunnya wahyu yang pertama diterima Rasulullah SAW. Terdapat pula riwayat lain yang menceritakan kronologis turunnya wahyu pertama secara rinci dengan matan hadits yang lebih panjang.

Perbedaan pendapat tentang waktu permulaan wahyu tidak bisa dihindari. Selain tanggal 17 Ramadan, ada pula yang berpendapat 18, 21, dan 24 Ramadan. Namun mayoritas ulama menetapkan tanggal 17 Ramadan tahun 13 Sebelum Hijrah atau 610 M berdasarkan isyarat Al-Qur’an pada surah Al Anfal ayat 41 yang menjelaskan bahwa tanggal permulaan wahyu sama dengan tanggal peristiwa perang Badar yaitu 17 Ramadan. Pada hari itu turunlah wahyu pertama, yakni surat al-Alaq ayat 1-5 melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW sekaligus pengukuhan status beliau sebagai utusan Allah SWT. Peristiwa itu hingga kini diperingati sebagai hari Nuzulul Quran atau turunnya Al-Qur’an.

Isyarat Kelahiran Umat Terbaik
Kalimat “Wahyu pertama diterima Rasulullah SAW” menegaskan awal tugas kenabian dan kerasulan beliau dalam membentuk umat terbaik. Dari peristiwa inilah, beliau memulai gerakan dakwah mengenalkan ajaran Islam dari lingkungan keluarga, sahabat, komunitas, hingga lintas wilayah, dan akhirnya sampai kepada kita. Titik awal semangat dakwah ini adalah turunya ‘ruhul Amin’ (Malaikat Jibril) kepada ‘ash-shadiqul amin’ dengan membawa wahyu pertama surah al-‘Alaq: 1-5.

Dengan demikian, wahyu pertama yang diturunkan di bulan Ramadan ini menjadi titik awal kelahiran umat terakhir ini, dan kewajiban ibadah puasa merupakan ungkapan syukur kelahiran umat ini sebagaimana nabi Musa dan nabi Nuh merayakan keselamatan kaumnya dengan berpuasa. Oleh karena itu, Allah SWT memberikan dua kado kebahagiaan bagi orang yang berpuasa yaitu kebahagiaan saat berbuka puasa dan kebahagiaan saat bertemu Allah di surga.

Bagaimana Format Peringatan Kelahiran Umat ini?
Pada umumnya, format peringatan ulang tahun disesuaikan dengan momentum. Seperti format peringatan hari lahir Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah pertunjukan kekuatan militer angkatan darat, laut, maupun udara. Format peringatan hari lahir ibu Kartini yaitu mengenakan kebaya bagi wanita setiap tanggal 21 April. Begitu pula, format peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dilaksanakan dengan pembacaan riwayat hidup beliau dan bershalawat secara massal.

Lalu bagaimana dengan format kelahiran umat Muhammad SAW? Jika awal kelahiran umat terakhir ini bertepatan dengan momentum turunnya wahyu pertama sebagaimana firman Allah SWT, “bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan  Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda . Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Qs. Al Baqarah: 185). Maka format perayaan ulang tahun dalam bentuk mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an yaitu memperbanyak tilawah Al Qur’an, bahkan sampai khatam berkali-kali.

Ramadan adalah bulan Al-Qur’an, dan kita terbimbing dengan mudah untuk membaca Al-Qur’an dimanapun dan kapanpun, di masjid, di kantor, di rumah, di kendaraan, bahkan ketika menunggu transportasi umum. Suasana Ramadan semakin indah ditambah tiap-tiap orang memasang target khataman di bulan Ramadan.

Tradisi mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadan telah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW. Bahkan Malaikat Jibril AS sendiri memiliki durasi pertemuan dengan Nabi Muhammad SAW lebih intens di bulan Ramadan untuk tadarus Al-Qur’an sekaligus mengecek hafalan ayat-ayat atau wahyu yang telah diturunkan. Demikian pula para sahabat, tabi’in dan ulama terdahulu memiliki kekhususan dengan Al Qur’an di bulan suci Ramadan.

Seorang ulama kalangan tabi’in yang bernama Qatadah biasanya mengkhatamkan Al-Qur’an dalam tujuh hari. Namun jika datang bulan Ramadan ia mengkhatamkannya setiap tiga hari. Ketika datang sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan, ia mengkhatamkan setiap malamnya. Al-Aswad bin Yazid –seorang ulama besar tabi’in yang meninggal dunia 74 atau 75 Hijriyah di Kufah-mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadan setiap dua malam. Imam Syafi’i biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadan sebanyak 60 kali.

Mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadan bagi orang yang berpuasa tidaklah wajib. Akan tetapi sudah sepatutnya setiap muslim di bulan Ramadan untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Kesempatan mengkhatamkan Al-Qur’an disesuikan dengan kondisi dan aktivitas masing-masing. Orang yang sibuk dalam menyebarkan ilmu atau pekerjaan, hendaklah berusaha memperbanyak membaca Al-Qur’an atau mengkhatamkannya sesuai kemampuan.

Dalam kondisi pandemi Covid-19 yang menerapkan Work From Home maupun Stay At Home, kita bisa lebih leluasa membagi waktu untuk tilawah Al-Qur’an baik tilawah sendiri maupun tadarus bersama anggota inti keluarga. Inilah kesempatan kita dan anggota keluarga untuk menyinari rumah dengan cahaya Al-Qur’an sehingga mengusik pandangan Allah dan para malaikat agar menurunkan ampunan, rahmat, dan keberkahan-Nya.

Oleh karena itu, tradisi mengkhatamkan Al Qur’an, baik dengan model tadarus bersama atau pun mengkhatamkan sendiri, merupakan tradisi baik yang perlu dilakukan, apalagi di bulan Ramadan.Mari kita rayakan kelahiran umat terbaik ini dengan menjalani hari-hari bulan Ramadan bersama Al-Qur’an.

Semoga kita semua diberikan kekuatan istiqamah membaca Al-Qur’an dan diberikan kemuliaan serta keberkahannya di dunia dan akhirat. Aamiin

H. Subhan Nur, Lc, M.Ag
(Kepala Seksi Pengembangan Metode dan Materi Dakwah Dit. Penerangan Agama Islam)

Sumber : Bimas Islam Kemenag RI

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama