Hadis Harian 21: Menggapai Lailatul Qadar

Dari Aisyah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Carilah Lailatul Qadar di malam ganjil dari 10 malam terakhir bulan Ramadan. (HR. Bukhari)

Penjelasan Hadis
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW menyeru umatnya untuk menyongsong malam yang lebih baik dari seribu bulan ini dengan giat beribadah di malam-malam ganjil pada 10 terakhir bulan Ramadan. Lailatul qadar adalah malam yang diharapkan pertemuannya oleh Rasulullah SAW, para sahabat, para kekasih Allah, para ulama, dan orang-orang shaleh. Keinginan untuk mendapatkan hikmah dan berkah lailatul qadar ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan, karena telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan para ulama tak henti-hentinya memohon agar dianugerahi pertemuan dengan lailatul qadar sejak awal Ramadan.

Makna kalimat taharraw atau carilah ialah kerahkan usaha dan semangatmu dalam mencari lailatul qadar dengan beribadah sepanjang malam. Perintah “carilah” juga menunjukkan kerahasiaan lailatul qadar. Hikmahnya agar kita senantiasa giat meraih lailatul qadar dengan beribadah di 10 malam terakhir, dan Allah SWT yang menentukan siapa saja dari hamba-Nya yang dipertemukan dengan lailatul qadar.  

Prof. Dr. Quraish Shihab mengatakan bahwa siapa saja yang beribadah di malam qadar niscaya ia meraih keberkahan dan kemuliaan malam itu. Karena syarat utama meraih lailatul qadar adalah ibadah, karena terdapat orang-orang yang melek di malam itu namun tidak beribadah. Hanya saja kadar kenikmatan yang diraih berbeda-beda antara individu dengan individu lainnya. Ada yang merasakan kesyahduan dan keindahan yang luar biasa, namun adapula yang sekedar merasakan ketenangan dalam jiwa.

Kalimat di malam ganjil” menunjukkan kekhususan malam-malam ganjil pada 10 malam terakhir bulan Ramadan yaitu malam 21, 23, 25, 27, dan 29. Bahkan pada riwayat lain, Rasulullah SAW lebih mengkhususkan pada 7 malam terakhir bulan Ramadan. Pada hakekatnya, lailatul qadar adalah sebuah rahasia Allah SWT yang akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang giat beribadah secara istiqamah di bulan terbaik. Seluruh malam-malam bulan Ramadan adalah baik. Dan 10 malam terakhir amat istimewa, dan lailatul qadar adalah malam terindah dan teristimewa.

Apakah Meraih Lailatul Qadar Harus Beri’tikaf?
Dalam sebuah hadis, Aisyah RA menceritakan bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa beri’tikaf di setiap 10 malam terakhir Ramadan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian tradisi beliau dilanjutkan oleh isteri-isterinya. Bahkan menurut riwayat lain, beliau beri’tikaf selama 20 hari bulan Ramadan pada tahun beliau diwafatkan.

Tradisi i’tikaf ini terus berlanjut hingga saat ini, dimana kita menyaksikan masjid-masjid dipenuhi umat Islam yang beri’tikaf di 10 malam terakhir Ramadan. Bahkan pengurus masjid mengemas program i’tikaf dengan sejumlah agenda ibadah seperti tadarus Al-Qur’an, kajian kandungan Al-Qur’an dan hadis, shalat Tasbih bersama, dzikir bersama, dan lain sebagainya, serta memberikan fasilitas hidangan berbuka dan sahur bagi mereka yang i’tikaf.

Namun tidak semua umat Islam bisa i’tikaf di masjid. Khususnya para pekerja di Rumah Sakit, petugas keamanan, wanita yang udzur karena haidl atau nifas, atau wanita yang sibuk mengurus anak dan bayi di rumah. Mereka semua tidak bisa beri’tikaf di masjid. Kita perlu memahami bahwa lailatul qadar terkait dengan waktu dan ibadah, bukan tempat, dan i’tikaf di masjid bukanlah syarat utama meraih lailatul qadar. Hanya saja kesempatan beribadah selama beri’tikaf di masjid lebih terbuka dan lebih bersemangat dibandingkan di rumah.

Khususnya, di tengah pandemi Covid-19 saat ini, umat Islam tidak bisa melaksanakan i’tikaf di masjid. Terutama, mereka yang tinggal di zona merah Covid-19, dan sebagian besar masjid-masjid di wilayah tersebut ditutup guna mencegah penyebaran Covid-19. Dengan demikian, rangkaian qiyamul lail dapat dilakukan di rumah pada ruangan yang dikhususkan untuk shalat. Ruang khusus tersebut dibersihkan dan diberikan mewangian agar merasa tenang dalam beribadah. Jika ruangan tersebut tidak tersedia, maka gunakanlah bagian rumah yang dirasakan nyaman untuk beribadah. Di ruangan tersebut, seorang muslim dapat melakukan shalat malam, dzikir, tilawah dan tadabbur Al-Qur’an baik sendirian maupun bersama-sama anggota keluarga.

Ikhtiar Para Ulama
Perintah mencari lailatul qadar direalisasikan oleh para ulama yang meneliti pengalaman mereka dalam menemukan lailatul qadar. Di antara ulama yang membuat rumusan atau kaidah untuk mengetahui lailatu qadar adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H – 505 H) dan Imam Abul Hasan as-Syadzili. Bahkan dijelaskan bahwa Syeikh Abul Hasan semenjak baligh selalu mendapatkan lailatul qadar sehingga melahirkan rumusan ini. Dalam kitab I’ânatul Thâlibin, Imam Ghazali menjelaskan rumusan cara untuk mengetahui lailatul qadar dengan memperhatikan hari pertama bulan Ramadan, antara lain:
1. Jika awal Ramadan jatuh pada hari Ahad atau Rabu, maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-29.
2. Jika awal Ramadan jatuh pada hari Senin, maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-21.
3. Jika awal Ramadan jatuh pada hari Selasa atau Jum’at, maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-27.
4. Jika awal Ramadan jatuh pada hari Kamis, maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-25.
5. Jika awal Ramadan jatuh pada hari Sabtu, maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-23.

Demikianlah ijtihad Imam Al-Ghazali, adapun hakikat kepastian lailatul qadar hanyalah Allah SWT Yang Maha mengetahui. Meskipun waktu-waktu konsentrasi qiyamul lail telah diuraikan dalam hadis yaitu di malam-malam ganjil, atau sesuai rumusan Imam Al-Ghazali tersebut, hendaklah kita tetap menjalankan qiyamul lail sepanjang malam secara istiqamah di setiap malam 10 terakhir Ramadan dengan tujuan menggapai ridha Allah SWT.

Akhirnya, kita memohon kepada Allah SWT agar kita semua tercatat sebagai hamba-hamba-Nya yang dipertemukan dengan lailatul qadar. Aamin.

H. Subhan Nur, Lc, M.Ag
(Kepala Seksi Pengembangan Metode dan Materi Dakwah Dit. Penerangan Agama Islam)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama