Dari Asy Syarid, dia berkata, “Dalam rombongan Bani
Tsaqif terdapat seorang lelaki yang menderita penyakit kusta. Setelah itu,
Rasulullah SAW mengutus utusannya kepada orang tersebut untuk menyampaikan
pesan beliau bahwasanya, “Kami telah menerima bai’atmu. Oleh karena itu,
sekarang kamu dapat kembali.” (Hadis Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Penjelasan Hadis
Hadis ini menjelaskan salah satu cara Nabi Muhammad SAW untuk
mencegah diri dari penyakit menular dan berbahaya. Beliau sengaja tidak
menjumpai laki-laki dari Bani Tsaqif untuk berjabat tangan dalam pengucapan
sumpah setia atau bai’at menjalankan ajaran Islam dan berjihad, dan beliau
tetap menerima bai’at orang tersebut dengan cara mengirimkan pesan melalui
utusannya tanpa berjabat tangan. Alasan beliau adalah laki-laki tersebut
menderita penyakit kusta. Inilah ikhtiar Rasulullah SAW agar tidak
terkontaminasi penyakit menular dengan melakukan “physical
distancing” (pembatasan fisik).
Physical distancing adalah salah
satu langkah yang disarankan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Di Indonesia,
jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 terus meningkat dan semakin
memprihatinkan. Dalam upaya preventif mengurangi penyebaran virus Corona,
pemerintah Indonesia dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan
masyarakat untuk menjaga jarak aman dengan orang lain melalui physical
distancing,
Saat menjalani physical
distancing, masyarakat diminta untuk tidak bepergian ke tempat
keramaian dan sebisa mungkin menghindari penggunaan transportasi umum seperti
Kereta, Kapal Laut, Bus, pesawat, dan transportasi lainnya yang padat
penumpang. Jika harus menggunakan transportasi umum, maka harus memperhatikan physical distancing. Demikian pula,
anda perlu membatasi diri melakukan kontak fisik seperti berjabat tangan, dan
menjaga jarak aman minimal 1 meter ketika berinteraksi dengan orang lain,
terlebih jika orang tersebut sedang sakit atau berisiko tinggi terinfeksi
Covid-19.
Dalam teori fiqih, physical distancing ini masuk dalam kajian
saddu al-Dzara’i yaitu memutus perbuatan-perbuatan agar tidak menimbulkan
mafsadat atau kerugian. Pada dasarnya hukum physical distancing adalah mubah,
yaitu boleh dilakukan dan boleh tidak. Akan tetapi status hukum ini bisa
bergeser kepada sunnah bahkan wajib jika tidak melakukannya menimbulkan
mudharat yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas RA:
”Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan
bahaya bagi orang lain.” (HR. Ibnu
Majah dan Ad Daruquthni).
Demikian pula, bertemu atau bertatap muka dengan orang banyak
adalah perkara mubah bahkan sunnah dalam konteks silaturrahim, namun jika
perbuatan tersebut berpotensi menyebarkan wabah penyakit maka pertemuan atau
tatap muka menjadi makruh, dan lebih baik dihindari.
Physical
Distancing dalam
Shalat Berjamaah
Pada dasarnya, pelaksanaan shalat berjamaah di masa pandemi
Covid-19 dianjurkan untuk ditiadakan terutama di daerah berpotensi tinggi
penyebaran virus sebagaimana Surat Edaran Menteri Agama dan Fatwa MUI. Namun
jika ada pengurus masjid/mushalla yang tetap menyelenggarakan shalat berjamaah,
maka harus mematuhi petunjuk medis dan standar keamanan dalam pencegahan
Covid-19 termasuk menjaga jarak antar individu jamaah dalam shaf, menggunakan
masker, tidak berjabat tangan, dan mencuci tangan sebelum masuk masjid.
Pengurus masjid/mushalla harus membuat rekayasa shaf dengan memberikan tanda
silang atau tanda lainnya pada tempat tertentu untuk memberikan jarak agar
tidak diisi oleh jamaah.
Sekarang
muncul pertanyaan: “Apakah shalat
berjamaah dengan menjaga jarak itu sah dan tidak menghilangkan keutamaan?”
Pada dasarnya, shaf dalam shalat berjamaah harus lurus dan
rapat agar mendapatkan keutamaan berjamaah sesuai tuntunan Rasulullah SAW.
Dalam kitab Minhajut Thalibin karangan imam An Nawawi dikatakan bahwa pada
dasarnya hukum posisi makmum yang berdiri terpisah dalam shalat berjamaah
adalah makruh, karena makmum harus membentuk shaf atau mengisi shaf yang masih
kosong. Akan tetapi dalam kondisi adanya uzur seperti hawa panas seperti di
Masjidil Haram, hujan lebat, atau wabah penyakit maka dibolehkan makmun
berposisi terpisah dari makmun lainnya atau dari shaf di depannya. Sebagaimana
dalam kaidah fiqih disebutkan:
"Kondisi
darurat membolehkan hal-hal yang dilarang”
Oleh karena itu, meski shalat berjamaah di masjid dengan
menerapkan physical distancing tidak menghilangkan keutamaan berjamaah. Physical distancing (jarak fisik)
antar jamaah dan antar shaf minimal 1 meter dalam situasi uzur atau darurat
tidak membatalkan pahala berjamaah.
Kesimpulannya, hadis tersebut berisikan tuntunan, bagaimana
Rasulullah SAW memberikan contoh cara berinteraksi dengan orang yang terinfeksi
penyakit menular dengan tidak bertatap muka, tidak berjabat tangan, dan
berkomunikasi melalui media atau pelantara. Dengan demikian, kebijakan
penerapan physical
distancing (jarak fisik) serta PSBB (Pembatasan Sosial Berskala
Besar) merupakan anjuran Rasulullah SAW di saat merebak wabah penyakit.
Wa Allahu a’lamu bish shawab
H. Subhan Nur, Lc, M.Ag
(Kepala Seksi Pengembangan Metode dan Materi Dakwah Dit.
Penerangan Agama Islam)
Sumber : Bimas Islam Kemenag RI
Tags:
Stay At Home