Hadis Harian 10: Physical Distancing


Dari Asy Syarid, dia berkata, “Dalam rombongan Bani Tsaqif terdapat seorang lelaki yang menderita penyakit kusta. Setelah itu, Rasulullah SAW mengutus utusannya kepada orang tersebut untuk menyampaikan pesan beliau bahwasanya, “Kami telah menerima bai’atmu. Oleh karena itu, sekarang kamu dapat kembali.” (Hadis Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Penjelasan Hadis
Hadis ini menjelaskan salah satu cara Nabi Muhammad SAW untuk mencegah diri dari penyakit menular dan berbahaya. Beliau sengaja tidak menjumpai laki-laki dari Bani Tsaqif untuk berjabat tangan dalam pengucapan sumpah setia atau bai’at menjalankan ajaran Islam dan berjihad, dan beliau tetap menerima bai’at orang tersebut dengan cara mengirimkan pesan melalui utusannya tanpa berjabat tangan. Alasan beliau adalah laki-laki tersebut menderita penyakit kusta. Inilah ikhtiar Rasulullah SAW agar tidak terkontaminasi penyakit menular dengan melakukan “physical distancing” (pembatasan fisik).
Physical distancing adalah salah satu langkah yang disarankan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Di Indonesia, jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 terus meningkat dan semakin memprihatinkan. Dalam upaya preventif mengurangi penyebaran virus Corona, pemerintah Indonesia dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan masyarakat untuk menjaga jarak aman dengan orang lain melalui physical distancing,
Saat menjalani physical distancing, masyarakat diminta untuk tidak bepergian ke tempat keramaian dan sebisa mungkin menghindari penggunaan transportasi umum seperti Kereta, Kapal Laut, Bus, pesawat, dan transportasi lainnya yang padat penumpang. Jika harus menggunakan transportasi umum, maka harus memperhatikan physical distancing. Demikian pula, anda perlu membatasi diri melakukan kontak fisik seperti berjabat tangan, dan menjaga jarak aman minimal 1 meter ketika berinteraksi dengan orang lain, terlebih jika orang tersebut sedang sakit atau berisiko tinggi terinfeksi Covid-19.
Dalam teori fiqih, physical distancing ini masuk dalam kajian saddu al-Dzara’i yaitu memutus perbuatan-perbuatan agar tidak menimbulkan mafsadat atau kerugian. Pada dasarnya hukum physical distancing adalah mubah, yaitu boleh dilakukan dan boleh tidak. Akan tetapi status hukum ini bisa bergeser kepada sunnah bahkan wajib jika tidak melakukannya menimbulkan mudharat yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas RA:
”Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain.” (HR. Ibnu Majah dan Ad Daruquthni).
Demikian pula, bertemu atau bertatap muka dengan orang banyak adalah perkara mubah bahkan sunnah dalam konteks silaturrahim, namun jika perbuatan tersebut berpotensi menyebarkan wabah penyakit maka pertemuan atau tatap muka menjadi makruh, dan lebih baik dihindari.
Physical Distancing dalam Shalat Berjamaah
Pada dasarnya, pelaksanaan shalat berjamaah di masa pandemi Covid-19 dianjurkan untuk ditiadakan terutama di daerah berpotensi tinggi penyebaran virus sebagaimana Surat Edaran Menteri Agama dan Fatwa MUI. Namun jika ada pengurus masjid/mushalla yang tetap menyelenggarakan shalat berjamaah, maka harus mematuhi petunjuk medis dan standar keamanan dalam pencegahan Covid-19 termasuk menjaga jarak antar individu jamaah dalam shaf, menggunakan masker, tidak berjabat tangan, dan mencuci tangan sebelum masuk masjid. Pengurus masjid/mushalla harus membuat rekayasa shaf dengan memberikan tanda silang atau tanda lainnya pada tempat tertentu untuk memberikan jarak agar tidak diisi oleh jamaah.
Sekarang muncul pertanyaan: “Apakah shalat berjamaah dengan menjaga jarak itu sah dan tidak menghilangkan keutamaan?”
Pada dasarnya, shaf dalam shalat berjamaah harus lurus dan rapat agar mendapatkan keutamaan berjamaah sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab Minhajut Thalibin karangan imam An Nawawi dikatakan bahwa pada dasarnya hukum posisi makmum yang berdiri terpisah dalam shalat berjamaah adalah makruh, karena makmum harus membentuk shaf atau mengisi shaf yang masih kosong. Akan tetapi dalam kondisi adanya uzur seperti hawa panas seperti di Masjidil Haram, hujan lebat, atau wabah penyakit maka dibolehkan makmun berposisi terpisah dari makmun lainnya atau dari shaf di depannya. Sebagaimana dalam kaidah fiqih disebutkan:
"Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang”
Oleh karena itu, meski shalat berjamaah di masjid dengan menerapkan physical distancing tidak menghilangkan keutamaan berjamaah. Physical distancing (jarak fisik) antar jamaah dan antar shaf minimal 1 meter dalam situasi uzur atau darurat tidak membatalkan pahala berjamaah.
Kesimpulannya, hadis tersebut berisikan tuntunan, bagaimana Rasulullah SAW memberikan contoh cara berinteraksi dengan orang yang terinfeksi penyakit menular dengan tidak bertatap muka, tidak berjabat tangan, dan berkomunikasi melalui media atau pelantara. Dengan demikian, kebijakan penerapan physical distancing (jarak fisik) serta PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) merupakan anjuran Rasulullah SAW di saat merebak wabah penyakit.

Wa Allahu a’lamu bish shawab


H. Subhan Nur, Lc, M.Ag
(Kepala Seksi Pengembangan Metode dan Materi Dakwah Dit. Penerangan Agama Islam)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama