Mabrur Tanpa Berangkat Haji
Oleh : Syafaat
Suatu waktu Abdullah bin Mubarok (118-181
H/726-797 M), berkeinginan pergi haji. ia bekerja keras mengumpulkan uang. iapun
melaksanakan niatnya, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Ketika sudah selesai mengerjakan
berbagai tahapan ibadah haji, ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi
menyaksikan dua orang malaikat turun ke bumi. Kedua malaikat ini pun terlibat
dalam perbincangan. “Berapa banyak
jamaah yang datang tahun ini?” tanya malaikat yang satu kepada malaikat lainnya.
“Enam ratus ribu orang,” jawab malaikat lainnya.
“Tapi, tak satu pun diterima, kecuali seorang
tukang sepatu bernama Muwaffaq yang tinggal di Damsyik (Damaskus). Dan berkat
dia, maka semua jamaah yang berhaji diterima hajinya,” kata malaikat yang kedua.
Ketika Ibnu Mubarok mendengar percakapan
malaikat itu, terbangunlah ia. Ia pun berkeinginan mengunjungi Muwaffaq yang
tinggal di Damsyik. Ia telusuri kediamannya dan kemudian menemukannya.
Ibnu Mubarok menyampaikan mimpi yang
didapatnya. Mendengar cerita itu, maka menangislah Muwaffaq hingga akhirnya
jatuh pingsan. Dan setelah sadar, Muwaffaq menceritakan bahwa selama lebih dari
40 tahun, dia berkeinginan untuk melakukan ibadah haji. Karenanya, dia pun
mengumpulkan uang untuk itu. Jumlahnya sekitar 350 dirham (perak) dari hasil
berdagang sepatu. Ketika
musim haji tiba, ia mempersiapkan diri untuk berangkat bersama istrinya.
Menjelang keberangkatan itu, istrinya yang sedang hamil mencium aroma makanan
yang sangat sedap dari tetangganya. Muwaffaq pun mendatanginya dan memohon agar
istrinya diberikan sedikit makanan tersebut. Tetangganya ini langsung menangis. Ia lalu
menceritakan kisahnya. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,”
katanya. “Hari ini, aku melihat seekor keledai mati tergeletak dan kemudian aku
memotongnya, lalu kumasak untuk mereka. Ini terpaksa kulakukan karena kami
memang tidak punya. Jadi, makanan ini tidak layak buat kalian karena makanan
ini tidak halal bagimu,” terangnya sambil menangis. Mendengar hal itu, tanpa berpikir panjang Muwaffaq
langsung kembali ke rumahnya mengambil tabungannya 350 dirham untuk diserahkan
kepada keluarga tersebut. “Belanjakan ini
untuk anakmu. Inilah perjalanan hajiku,” ungkapnya. Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa
sesungguhnya haji adalah amal yang utama. Namun, menyantuni anak yatim, orang
miskin, dan telantar merupakan amal yang lebih utama.
Jadi peningkatan komitmen sosial inilah yang
menjadi kemabruran ibadah haji seseorang. Setelah pulang dari kota suci, ia
menjadi pribadi yang baik, lebih terbuka, dan mementingkan dimensi sosial.
Itulah sebabnya mengapa haji mabrur dipandang sebagai jihad yang utama (HR.
Bukhari no.1520). kemabruran inilah yang diharapkan ada pada
segiap orang yang telah melaksanakan Ibadah Haji, namun sebagimana dalam kisah
tersebut diatas, bahwa ada yang memperoleh predikat mabrur meskipun tidak
melaksanakan ibadah haji. Kisah diatas merupakan salah satu kisah saja, ada
beberapa kisah lain yang ditulis dibeberapa kitab yang menggambarkan orang yang
mendapatkan predikat Mabrur meskipun tidak berangkat haji. Tidak menutup
kemunkinan calon jamaah yang gagal berangkat karena pandemi covid-19 akan
mendapatkan kemabruran, kemulyaan yang tidak kalah dengan mereka yang telah
melaksanakan Ibadh Haji.
Covid-19 telah membuyarkan impian ribuan orang
menunaikan Ibadah Haji tahun ini, banyak diantaranya yang hidup sangat hemat
untuk dapatnya menabung dan menunaikan Rukun Islam kelima tersebut, yang
diwajibkan bagi yang mampu untuk melaksanakannya. Meskipun demikian, tidak ada
larangan bagi yang belum benar benar mampu untuk tetap melaksanakan Ibadah
Haji. Begitupun dengan yang pernah melaksanakan Ibadah Haji, ada kenikmatan rohani
yang biasanya orang yang telah melaksanakan ibadah haji berharap ingin kembali
melaksanakannya, meskipun ketika beribadah mereka mengalami cobaan dan ujian, mereka akan mendapatkan kenikmatan
spiritual dan keimanan yang semakin tinggi. Banyak alasan bagi seseorang
berangkat menunaikan rukun Islam kelima tersebut, ada yang benar benar berangat
karena sudah mampu, ada juga yang berangkat karena dibiayai anaknya atau orang
lain, juga yang berangkat haji dengn mengemban tugas Negara sebagai petugas
haji.
Pandemi ini bukan hanya membatalkan pemberangkatan
haji tahun ini, namun juga berimbas pada antrian bagi pendaftar haji yang ingin
mendapatkan nomor porsi. Animo masyarakat yang ingin berangkat haji dengan
dibuktikan dengan semakin lamanya antrian untuk mendapatkan nomor porsi tersebut
membuktikan bahwa kesadaran masyarakat untuk melaksanakan salah satu kewajibannya
dalam beragama semakin tinggi, begitu juga dengan kewajiban yang berkaitan
dengan peningkatan komitmen sosial dari Ibadah haji tersebut. Tidak ada jaminan
bagi jamaah haji yang mengalami penundaan keberangkatan karena covid-19 dapat
berangkat seluruhnya tahun ini. Hal ini terkait dengan Istithaah Kesehatan
calon jamaah haji yang mungkin akan ada perubahan pada tahun yang akan datang.
Peningkatan komitmen menjadi lebih baik
diperlukan bukan hanya kepada orang yang telah melaksanakan Ibadah Haji, namun
juga kepada mereka yang telah mendaftar dan menunggu antrian untuk berangkat
haji, karena kemabruran bukan hanya didapatkan dari mereka yang telah
melaksanakan haji, namun juga bisa didapatkan dari mereka yang benar benar ikhlas
mementingkan dimensi sosial bagi sesama tanpa menunggu keberangkatan haji yang
belum tentu dapat dilaksanakan karena kondisi.
Penulis adalah Penyusun Bahan Pembinaan
Keluarga Sakinah Kemenag Kab Banyuwangi
Tags:
Artikel Pilihan