Selingkuhan
Halal
Oleh : Khoirud
Dawam
Ada saja istilah yang dipergunakan oleh orang yang
hanya mengedepankan nafsu dalam pernikahan, mereka melaksanakan pernikahan
secara diam-diam yang menurutnya sudah sah menurut hukum masing masing
agamanya, mereka hanya berpendapat yang penting sudah nggak dosa menurut agama,
meskipun pada kenyataannya ada beberapa pernikahan yang tidak dalam pengawasan
petugas ini tidak sesuai dengan ketentuan agama yang dianutnya, sebagai contoh
pernikahan yang dilakukan oleh perempuan yang perceraiannya (talak bain) masih
dalam proses, mereka melakukan pernikahan dibawah tangan sebelum akta cerai
miliknya benar benar sudah di tangan. Istilah Selingkuhan Halal tidak tepat diterapkan untuk pernikahan siri yang
dilakukan, karena pernikahan yang dilaksanakan belum tentu sah menurut hukum
masing masing agamanya. Istilah tersebut dapat merendahkan martabat bagi yang
melaksanakannya.
Menikah siri merupakan pernikahan yang sah secara
agama, namun tidak tercatat di Kantor Urusan Agama ( KUA ). Dianggap sah
apabila pernikahannya sesuai dengan hukum Islam yaitu memenuhi rukun dan syarat
nikah. Meskipun secara agama di anggap
sah , pada kenyataanya justru memunculkan banyak permasalahan yang berimbas
pada kerugian, terutama di
pihak perempuan. Nikah siri sering diambil sebagai jalan pintas pasangan untuk
bisa melegalkan hubungan sebagai suami istri. Meski tindakan tersebut pada
dasarnya adalah pelanggaran UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dampak dari pernikahan siri
bagi perempuan adalah secara hukum, istri tidak dianggap sebagai istri sah,
tidak berhak mendapat warisan jika suami meninggal, tidak berhak mendapat harta
gono gini bila terjadi perpisahan. Dampak tersebut juga berlaku bagi anak
kandung hasil pernikahan siri.
Dalam
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tertulis pada Bab II dasar perkawinan
pasal 2. Ayat 1 “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan itu “. ayat 2, “ Tiap-tiap perkawinan di
catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal tersebut di perjelas
dalam KHI ( Kompilasi Hukum Islam ) Pasal 5 ayat 1 yang menyebutkan “ Agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat “. Begitu juga dalam Pasal 6 ayat 2 ditegaskan bahwa “Perkawinan yang dilakukan
diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”.
Pernikahan
adalah suatu proses hukum, sehinga hal-hal atau tindakan yang muncul akibat
pernikahan adalah tindakan hukum yang mendapat perlindungan secara hukum. Bila
perkawinan tidak dicatatkan secara hukum,maka hal-hal yang berhubungan dengan
akibat pernikahan tidak bisa diselesaikan secara hukum. Sebagai contoh , hak
istri untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin, akte kelahiran anak tidak bisa
diurus, hak pendidikan anak, hak waris, hak perwalian bagi anak perempuan yang
akan menikah dan masih banyak problem yang lain.
Seorang
anak yang sah menurut UU adalah hasil dari perkawinan yang sah. Hal ini
tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang pernikahan Pasal 42 Ayat 1 “ Anak yang
sah adalah anak-anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah. Dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat
kesukaran dalam pengurusan hak perdata seperti nafkah,warisan maupun akta
kelahiran. Dikarenakan status dari anak nikah siri, tidak tercatat oleh negara,
maka status anak dikatakan di luar nikah. Hal ini dinyatakan dalam UU No. 1
Tahun 1974 pasal 43 ayat 1 “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Meski
sudah banyak diketahui bahwa pada prinsipnya nikah siri merugikan kaum
perempuan, namun sampai saat ini fenomena tersebut masih sering dijumpai.
Parktek nikah siri tersebut tidak hanya terjadi dilingkungan masyarakat yang
awam hukum, berpendidikan rendah atau golongan ekonomi menengah ke bawah saja,
tetapi juga banyak terjadi di lingkungan masyarakat terpelajar yang memahami
hukum, ataupun di lingkungan masyarakat golongan menengah ke atas yang secara
ekonomi bisa dikatakan sangat mapan. Tidak jarang di temui di kalangan
masyarakat umum, mahasiswa, astis, ulama bahkan para pejabat.
Sebagaimana
yang terjadi dalam kasus nikah siri, masih banyak kaum perempuan yang
beranggapan bahwa nikah siri adalah suatu bentuk tanggung jawab moral kaum
laki-laki yang bersedia melewati tahapan hubungan yang lebih serius untuk
sesaat memang bisa dibenarkan, namun secara faktual proses pernikahan tersebut
sangat tidak adil gender, mengingat kaum perempuan akan menuai banyak
permasalahan di kemudian harinya. Sebaliknya pihak laki-laki tidak menanggung
beban, bahkan ketika ia lalai akan kewajibannya sebagai suami (secara siri),
tidak ada tuntutan hukum.
Melihat
kasus-kasus yang terjadi pada pernikahan siri, masing-masing mempunyai latar
belakang yang secara khusus berbeda, namun secara umum adalah sama yaitu ingin
memperoleh keabsahan. Dalam hal ini yang dipahami oleh masyarakat adalah
pernikahan siri sudah sah secara agama. Sebagian masyarakat masih banyak yang berpendapat nikah merupakan
urusan pribadi dalam melaksanakan ajaran agama, jadi tidak perlu melibatkan
aparat yang berwenang dalam hal ini Kantor Urusan Agama ( KUA ). Di samping itu
pernikahan siri juga dianggap sebagai jalan pintas bagi pasangan yang
menginginkan pernikahan namun belum siap atau ada hal lain.
Pernikahan
adalah merupakan perbuatan hukum, jadi segala sesuatu yang ditimbulkan akibat
pernikahan adalah secara hukum. Mengingat pernikahan siri catat secara hukum,
maka tidak ada perlindungan hukum bagi suami, istri maupun anak.
Problem-problem yang muncul mayoritas adalah problem hukum yang mungkin tidak
pernah dibayangkan ketika seseorang pertama kali memutuskan untuk menikah siri.
Dalam hal ini istri adalah pihak yang paling dirugikan sedangkan suami hampir
tidak memiliki kerugian apa-apa.
Kesimpulannya,
Nikah siri menurut hukum positif adalah perkawinan yang dilakukan tidak sesuai sepenuhnya dengan UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan. Dampak
hukum yang bisa timbul dari pernikahan siri antara lain : karena pernikahan
siri catat secara hukum, maka tidak ada perlindungan hukum bagi suami, istri
maupun anak.
Penulis adalah Kepala KUA Kecamatan Glagah Kabupaten
Banyuwangi.