Puasa Ramadhan; Sebuah Perjanjian Primordial

 

Puasa Ramadhan; Sebuah Perjanjian Primordial

Okeh : Syafaat


Saya mengambil judul yang sama dengan yang disampaikan H. M. Rosyidin, Kepala KUA Kecamatan Kalipuro ketika memberikan tausiyah di Masjid Ar Royan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi pada hari kedua Ramadhan, hal ini menarik karena Ustad tersebut menyuguhkan tausiyyah dengan bahasa yang tidak biasa dilakukan para mubaligh lainnya, belum banyak yang membahas tentang Puasa Ramadhan dengan pemahaman secara komprehenship, prinsip dari puasa yang bukan hanya sebagai kewajiban manusia kepada tuhannya, tetapi hal yang lebih prinsip dari sekedar puasa sebagai salah satu kewajiban tersebut. Saya merasa penyampaian dengan tema tersebut sangat menarik untuk menjadi kajian menambah khasanan pengetahuan dari konsep puasa, meskipun karena keterbatasa pengetahuan, yang saya sampaikan jauh dibawah makna yang disampaikan H.M. Rosyidin.

Primordialisme adalah suatu perasaan-perasaan dimiliki oleh seseorang yang sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai-nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang bersumber dari etnik, ras, tradisi dan kebudayaan yang dibawa sejak seorang individu baru (wikipedia). Dalam pandangan Islam, pengakuan akan ketuhanan Allah SWT tersebut terlontar dari mata, kepala, tangan, dan anggota tubuh manusia lainnya. Kisah ini termuat dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 172 yang menceritakan tentang dialog Tuhan, sang Pencipta, dengan calon manusia sebagai makhluk ciptaannya. Peristiwa ini disebut juga sebagai perjanjian primordial.

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘’Bukankah aku ini Tuhanmu?’’ Mereka menjawab: ‘’Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘’Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’’ (QS Al-A’raf: 172)

Gambaran puasa sebagai manivestasi perrjanjian primordial dengan mengingat puasa merupakan ibadah yang sah tidaknya puasa tersebut hanya diketahui oleh orang yang melakukan puasa dan juga tuhannya, hal ini dengan mengingat puasa merupakan perbuatan siri (sembunyi), tidak ada orang yang tahu ketika orang tersebut secara melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya. Karenanya puasa merupakan wujut ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya.  

Kisah perjanjian primordial tersebut, menurut Muta’ali (Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia), merupakan sejarah paling fundamental perihal berpuasa sebelum manusia menghuni bumi, puasa merupakan salah satu cara untuk menaklukkan dan menguasai hawa nafsu, mengakui makna dari hakekat ketuhanan, karena ketika terjadi perjanjian primordial tersebut seluruh anggota tubuh mengakui akan ketuhanan, dan hanya nafsu yang mencoba untuk mengelak dari makna ketuhanan, karenanya hanya dengan puasa, nafsu dapat ditundukkan dan di kuasai oleh pikiran dan akal budi. hawa nafsu dihajar dengan rasa lapar dan dahaga dalam waktu lama. Dalam Al Futuhat Al Makiyyah karya Ibnu Arabi, ahli tasawuf Andalusia (Spanyol), nafsu dimasukkan ke dalam lautan lapar selama seribu tahun agar mau tunduk dan mau mengakui hakikat ketuhanan.

Puasa telah dilakukan oleh para nabi sebelum nabi Muhamman SAW, Nabi Adam Alaihu Salam berpuasa pada tanggal 13,14 dan 15 Qomariyah, Bapak agama langit, Ibrahim, juga dilatih menjadi nabi dengan berpuasa. Dalam QS Al-Baqarah ayat 258, Sementara Nabi Musa, sebelum menerima wahyu Kitab Taurat, juga diceritakan berpuasa selama 40 hari 40 malam di Bukit Sinai (Tursina). Ia menerima wahyu langsung dari Allah SWT tanpa perantara Malaikat Jibril, dan karenanya menyandang gelar Kalimullah (orang yang diajak bicara langsung oleh Allah). Nabi berikutnya yang berpuasa adalah Nabi Isa. Dalam perjamuan terakhir bersama murid-muridnya, Nabi Isa disebut tengah berpuasa. Dia sengaja mengulur waktu supaya dapat minum ketika memasuki waktu magrib.

Dalah khasanah Jawa, juga dikenal berbagai macam puasa maupun tirakat untuk memperoleh sebuah tujuan tertentu, tujuan dari puasa maupun tirakat tersebut untuk mengasah jiwa dan menguji kesungguhan dari yang sudah diniatkan, karena dengan puasa maupun tirakat tersebut akan menaikkan kekuatan jiwa yang dituangkan dalam doa maupun mantra. Karenanya tidak heran bahwa dalam khasanah jawa atau biasa disebut dengan ilmu jowo, hampir selau didahuui dengan puasa maupun tirakat sebagai salah satu sarat dilakukannya lelaku tersebut.

Puasa Ramadhan merupakan pengewantah dari primordial yang dilakukan agar nafsu tidak menjalar secara liar, yang salah satu cara untuk menundukkannya adalah dengan berpuasa. Dengan berpuasa akan melatih diri untuk mengekang jiwa, melembutkan hati dan mengendalikan syahwat. Perjanjian primordial (yang diyakini) sebagai perjanjian yang dilakukan (di alam rohani) sebelum manusia dilahirkan, seringkali dilupakan dan tidak menjadi pedoman hidup, seringkali manusia melupahan tuhannya, setidaknya membuarkan nafsu menguasai diri hingga tidak terkendali. Karenanya dengan kewajiban berpuasa di bulan ramadhan sebagai sarana untuk menundukkan nafsu hingga dapat dikendalikan.

Ketundukan manusia dengan tuhannya benar benar diuji dalam ibadah puuasa ramadhan, terlebih dengan perkembangan zaman yang akan menambah banyaknya bentuk ujian dan cobaan dari orang yang menjalankan ibadah puasa, pemahaman yang berbeda dari masalah yang sama seringkali muncul, karenanya perbedaan tersebut masih dianggap wajar sepanjang dalam koridor keilmuan, namun dalam perfektif puasa ramadhan, nyaris tidak ada perbedaan yang berarti tentang makna yang terkandung dalam puasa tersebut. Hal ini menunjukkan pada puasa merupakan ibadah yang khas yang hampir semua agama melakukannya, meskipun dengan cara yang berbeda.

*Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Kemenag Kab. Banyuwangi

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama