Zakat Meretas Kesenjangan

 

Zakat Meretas Kesenjangan

Oleh: Farid Wajdy

 

“Hampir-hampir kefakiran (kemiskinan) itu menjadi kekafiran” Meski hadits ini banyak yang menyimpulkan sebagai hadits yang lemah, di antaranya karena dalam sanadnya ada Yazid bin Aban Ar-Raqasyi, dia dinyatakan lemah oleh para ulama Ahli hadits, seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, an-Nasa-i, ad-Daraquthni, adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Yah, kemiskinan ibarat penjajah yang mencengkeram, menindas, dan problem bersama yang sulit terselesaikan.

Masih ada yang menjerit kelaparan, masih ada yang terhimpit hutang nyaris tidak ada ujung penyelesaian dan masih ada saja yang sulit “move on” atau  tidak  “merdeka” dari penjajah yang bernama kemiskinan. Mampukah kita berusaha untuk menghapus terminologi “miskin” dalam kamus realitas kehidupan kita saat ini? Pertanyaan yang harus terjawab.

Kita manusia, sebagai makhluk-Nya yang masih memperoleh jatah untuk hidup dan jatah rezki, memiliki banyak kesamaan dengan manusia yang lain. Sama-sama sebagai hamba Tuhan, yang butuh maisyah (pekerjaan/mata pencaharian) dan penghidupan, makan, dan sejahtera, yang juga membutuhkan keadilan, sama di hadapan hukum. Kita semua sama. Namun muncullah yang disebut kesenjangan. Kesenjangan adalah masalah, jarak antara harapan dan kenyataan, cita dan fakta, impian dan kenyataan. Fenomena yang tidak pernah lepas dari pandangan kita sehari-hari adalah kemiskinan.

Ingatkah kita akan kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang memerintah pada abad 7, beliau memerintah yang terbilang singkat dan merupakan salah satu khalifah yang paling dikenal dalam sejarah Islam. Dia dipandang sebagai sosok yang saleh dan kerap disebut sebagai khulafaur rasyidin kelima. kesulitan untuk membagikan zakat karena masyarakatnya sudah merasa cukup.

Umar bin Abdul Aziz telah mengentaskan kemiskinan.  Alkisah, di era kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz Khalifah Dinasti Umayyah mengutus seorang petugas pengumpul zakat, Yahya bin Said untuk memungut zakat ke Afrika. ‘’Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun,’’ ujar Yahya. Pada era itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan. Semua rakyatnya hidup berkecukupan. ‘’Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya,’’ kisah Yahya bin Said. Kemakmuran umat, ketika itu,  tak hanya terjadi  di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah kekuasaan Islam, seperti Irak dan Basrah.  Abu Ubaid mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di provinsi itu. ‘’Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitulmal masih terdapat banyak uang,’’ tutur sang gubernur dalam surat balasannya. Khalifah Umar lalu memerintahkan, ‘’Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya!’’ Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah Umar, ‘’Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di baitulmal masih banyak uang.’’

Khalifah lalu memerintahkan lagi, ‘’Kalau begitu bila ada seorang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya!’’ Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah, ’’Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah.’’ Namun, di baitulmal ternyata dana yang tersimpan masih banyak. Khalifah Umar lalu memberi pengarahan, ‘’Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah mereka pinjaman agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.’’

Masyarakatnya sadar akan kewajiban si kaya untuk berbagi dengan si miskin melalui zakat yang harus dibayarkan jika sudah masuk kurun waktu (haul) satu tahun dan telah mencapai nisab ((jumlah minimal untuk terkena kewajiban zakat). Kesadaran untuk membayar zakat itu dapat tercipta suasana di mana si miskin ikut menjaga harta si kaya dan si kaya peduli terhadap kebutuhan si miskin. Dalam Islam dikenal beberapa macam kosakata yang erat hubungannya dengan harta. Sebutlah zakat fitrah, zakat mal, zakat profesi, zakat perdagangan dan pertanian serta zakat harta temuan.

Ada beberapa hikmah yang terkandung dalam perintah menunaikan zakat, di antaranya adalah mengurangi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, membersihkan harta dari bagian yang bukan hak kita, mengikis akhlak yang buruk, ungkapan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, Zakat yang dikumpulkan bisa dijadikan dana pengembangan potensi umat, dan memberikan dukungan moril dan materil kepada orang-orang yang baru masuk Islam.

Jika warga Negara Indonesia yang mayoritas muslim memahami akan kewajibannya terhadap harta yang dimiliki dan lembaga amil zakat mampu melakukan optimasi dalam proses mobilisasi pengumpulan zakat, maka program mengurangi angka kemiskinan sebagai langkah populis serta selalu melakukan autokritik terhadap problem sosial yang dihadapi, akan menjauhkan dan  menghilangkan konflik social yang terwakili dengan istilah tirani minoritas dan diktator mayoritas.

Sebagai kalimat terakhir, tanpa harus berfikir nostalgik saat khalifah Umar bin Abdul Aziz kesulitan untuk membagi zakatnya, maka kita harus bangkit untuk menumbuhkan dan meng-up grade kesadaran bahwa harta yang kita miliki adalah amanah (titpan), maka kita harus mewajibkan mampu berbagi dan tidak boleh menunggu, kapan dan dengan cara apa, Allah swt mengambil harta kekayaan kita, karena kelalaian dan karakter “kikir” yang mendarahdaging pada diri kita. Dengan langkah pasti sejarah Umar bin Abdul Aziz akan terulang pada revolusi industry 4.0 dan revolusi society 5.0 sekarang ini.

Penulis adalah Pengawas PAI SMP, SMA dan SMK Kemenag Kab. Banyuwangi

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama