PROBLEMATIKA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMELUK AGAMA MINORITAS

 

PROBLEMATIKA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMELUK AGAMA MINORITAS NON-ENAM BESAR

Oleh: M.Rosyidin

 


Ucapan selamat hari raya bagi ummat Baha' i yaitu nawruz sangat menarik apalagi yang menyampaikan Menteri Agama Yaqut Chalil Qoumas seakan memberi angin segar terhadap ummat Baha'i yang selama ini memperjuangkan hak sipilnya.
Pemeluk agama minoritas di luar enam agama yang telah diakui oleh pemerintah masih menghadapi ketidakpastian pelayanan hak beragama dan perlindungan hukum dari Negara, mulai hak mendapat izin pendirian rumah ibadah, hak pendidikan agama, pencatatan perkawinan, akta kelahiran, hak mencantumkan agama dalam kolom dokumen kependudukan, dan lain sebagainya.

Pangkal masalah fundamentalnya adalah terjadinya kerancuan konsep pengakuan agama oleh negara. Selama ini, banyak yang terkecoh, seolah-olah enam agama terbesar di atas adalah agama yang diakui negara, karena itu berhak mendapat perlindungan dan pelayanan negara, sementara itu beberapa agama lainnya dianggap tidak diakui negara, sehingga dipandang wajar bila kurang dilindungi dan dianggap tidak berhak dilayani oleh negara.

Persepsi tersebut diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dengan kalimat, “Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan” pada pasal tentang pembuatan Kartu Keluarga pasal 61 dan penerbitan KTP yang diatur dalam padal pasal 64. Problem perlindungan dan pelayanan negara kepada pemeluk agama minoritas banyak berpangkal dari UU Adminduk ini.

Sejak 2006, dokumen kependudukan semua penganut agama dilayani. Tapi pelayanan itu masih dinilai diskriminatif, karena hanya enam agama yang boleh menyantumkan nama agama. Di luar itu, tetap diberi dokumen kependudukan, tapi kolom agamanya dikosongkan. Idealnya, reformasi UU Adminduk ini terus dilanjutkan agar semua warga bisa menyantumkan nama agamanya. Selain empat agama non-enam besar yang disebut dalam UU 1 Tahun 1965 --Yahudi, Zarasustrian, Shinto, dan Taoism, kini juga tumbuh dalam jumlah berarti dua agama minoritas trans nasional: Sikh dan Bahai. Ada pula agama lokal yang ingin diperlakukan sebagai agama: Kaharingan, Parmalim, dan Sunda Wiwitan.

Kemenag menganut kebijakan: mengakui semua agama, tapi melayani hanya enam agama. Pembatasan layanan pada enam agama didasarkan pada UU 1/PNPS/1965. "Karena enam macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia,"  bunyi penjelasan UU 1/1965. Maka selain mereka mendapat jaminan berdasarkan  UUD, "mereka mendapat bantuan-bantuan." Kata “bantuan” dan itu yang diartikan sebagai pelayanan.

Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) tahun 2010 ketika menguji materi UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan dan Penyalahgunaan Agama, menandaskan, bahwa tidak ada konsep pengakuan agama oleh negara dalam hukum Indonesia. Agama adalah apa yang diyakini warga negara sebagai agamanya, dan kewajiban negara untuk melindungi dan melayani semua agama itu. Negara tidak memiliki kewenangan mengakui atau tidak mengakui sebuah agama.

Enam agama dengan jumlah pemeluk terbesar di atas, memang disebut pada deretan pertama dalam penjelasan UU 1/PNPS/1965. Namun hal itu sekadar penjelasan sosiologis, bukan pengakuan legal bahwa hanya enam agama itu yang diakui sebagai agama di Indonesia. UU pertama yang memuat konsep pengakuan agama oleh negara adalah UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), tetapi tidak ditemukan rujukan legal, apa saja “agama yang diakui” itu dan bagaimana mekanisme memperoleh pengakuan negara. Ketidakpastian hukum yang demikian ini membuat beberapa hak dasar keagamaan warga menjadi tertelantarkan. Dalam teori hak asasi manusia, kewajiban untuk menghormati (respect), memenuhi (fulfil), dan melindungi (protect) hak asasi, berada di pundak negara. Beberapa upaya penyelesaian masalah ini telah dicoba ditempuh. Tapi sampai saat ini belum juga terasa efek manfaatnya bagi kalangan pemeluk agama minoritas. Ada upaya uji materi ke MK, tapi belum secara efektif memperbaiki norma dan UU yang terkait dengan pelayanan kaum minoritas. Ada pula upaya pengajuan RUU Perlindungan Umat Beragama yang disiapkan Kemenag sejak 2014, tetapi belum ada kemajuan berarti hingga akhir periode pemerintahan sekarang ini.

Diskresi Sebagai Solusi Jangka Pendek

Ketentuan tentang diskresi terdapat dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam Pasal 1 Angka 9 UU 30/2014. Diskresi didefinisikan sebagai keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang Pasal 22 ayat (1) UU 30/2014. Diskresi digunakan, menurut Pasal 22 ayat (2) UU 30/2014, dengan tujuan: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Yang dimaksud dengan stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Skema diskresi patut dipertimbangkan sebagai solusi jangka pendek dalam mengatasi pemenuhan perlindungan dan pelayanan keagamaan para penganut agama minoritas karena situasinya sudah memenuhi tujuan penggunaan diskresi. Pada problem pengisian kolom agama non-enam besar di KTP dan KK, misalnya, selain bisa diselesaikan dengan cara revisi UU atau mengajukan permohonan uji materi UU Adminduk 24 Tahun 2013 ke Mahkamah Konstitusi, juga bisa ditempuh jalan diskresi sebagai jalan keluar. Karena apa yang disebut sebagai “agama belum diakui” itu tidak ada dasar hukumnya.Jika merujuk putusan MK 2010, seharusnya setiap agama yang dianut warga negara dilindungi oleh negara dan dipenuhi hak pelayaannya. Diskresi juga bisa digunakan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah pencatatan perkawinan agama non-enam besar. Bila Petugas Pencatat Perkawinan bersedia mencatat, sebenarnya tidak ada peraturan yang dilanggar, karena cakupan agama yang dimaksud dalam UU Perkawinan tidak terbatas pada agama tertentu.

Tidak ada peraturan lain yang menyebutkan hanya agama tertentu yang bisa dilayani pencatatannya. Penggunaan diskresi ini bisa lebih cepat memenuhi perlindungan hak asasi warga negara. Dalam hal pemberian izin pendidiran tempat ibadat di kalangan agama non-enam besar, Pemda bisa menjadi sektor yang menginisiasi penggunaan diskresi. PKUB maupun FKUB perlu berpikir lebih mendalam dan jauh ke depan untuk bisa memberikan rekomendasi pada permohonan pendirian tempat ibadat agama non-enam besar dengan tetap meminta pemenuhan syarat standar, sebagaimana ketentuan. Hal itu akan bisa menjadi jalan untuk memecah kebuntuan, memacu stagnasi pemerintahan, dan mengisi kekosongan hukum. UU yang tegas memerintahkan semua agama dilayani. Tapi untuk jangka pendek dan menengah, diskresi bisa dijadikan jalan keluar penyelesaian masalah perlindungan dan pelayanan hak dasar ini.

 

"Toleransi diperlukan bukan hanya oleh kelompok minoritas, tapi setiap manusia. Sebab setiap manusia pada hakekatnya membutuhkan kehidupan yang harmoni".Gus dur

Kepala Kantor Urusan Agama Kec. Kalipuro Kab. Banyuwangi

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama