KH. Ali Mansur, Kepala Kantor Kemenag Kab. Banyuwangi
Penggubah Shalawat Badar
Masa
kecil KH M. Ali Mansur dihabiskan di Tuban. Setelah tamat belajar di MI Makam
Agung Tuban, beliau mondok di beberapa pesantren besar, antara Pesantren Termas Pacitan, Pesantren di Lasem (asuhan Mbah Makshum ), lalu Pesantren Lirboyo Kediri hingga Pesantren Tebuireng Jombang . Di
Lirboyo ini, beliau kelihatan bakatnya dalam penguasaan ilmu ‘arudh dan qowafi
(dasar-dasar ilmu membuat syair berbahasa arab).
Setelah
menamatkan pendidikannya di beberapa pesantren dan AMS (setingkat SMA), KH. Ali
mansur pada tahun 1945 nmenjadi guru Madrasah Salafiah,kemudian menjadi anggota
Dewan Pimpinan Pemuda, Wakil Ketua GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia),
Kepala Staf Umum Barisan Sabil Komandan DPM Instruksi Pertahanan Rakyat6,
anggota DPRDS Kabupaten Tuban dan pembentuk pasukan mujahidin, dan menjadi kepala
staf penerangan MPHS Jawa Timur
Mengutip dari konstituante.net, sejak tahun 1950 beliat
menjadi Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Kementerian Agama, beberapa jabatan
yang pernah di embannya di Jawa Timur antara lain : menjadi klerk Kepala
(Pemegang Kas) KAD Besuki, yang dijabatnya selama lenih kurang satu sahun, pada
tahun 1951 sampai 1952 menjadi Propandis kl I Kantor Penerangan Agama Provinsi
Jawa Timur.
Pada tahun 1952 hingga tahun 1954 beliau dipindahkan dan
menjabat sebaga Kepala KUA ( Kantor Urusan Agama) di Kabupaten Sumba Provinsi
nusa Tenggara. Beliau juga masih aktif di organisasi menjadi konsul NU Nusa
Tenggara yang dijabat sejak tahun 1954 hingga tahun 1956. Di jajaran
Kementerian Agama, pda kurun waktu tersebut beliau manjabat sebagai Kepala
Bahagian Politik dan Aliran Agama pada Kantor Kementerian Agama Provinsi Nusa
Tenggara, kemudian pindah ke Provinsi Jawa timur dalam jabatan yang sama.
Sejak Tanggal 9 November 1956 bersama beberapa ulama seperti
KH. As’ad Samsul Arifin dari Sukorejo Banyuputih Situbondo serta KH. Harun dari
Tukangkayu Banyuwangi, beliau diangkat sebagai annggota konstutuante mewakili
Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara yang dijabat hingga dibubarkannya Dewan
konstituante oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 juli 1959. Dewan Konstituante hasil pemilu 1955 dilantik presiden Sukarno
di Bandung, 10 November 1956 dengan tugas utama menyusun konstitusi baru bagi
Republik Indonesia. Sebelumnya di Indonesia diberlakukan UUD 1945 (1945-1949),
Konstitusi RIS 1949 (1949-1950), lalu UUD Sementara yang sejak 1950. Selama sidang Konstituante, hampir semua materi
pokok sebenarnya berhasil diselesaikan melalui musyawarah. Semua kubu
menyetujui bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bendera Merah Putih, Bahasa Nasional Indonesia, Lagu kebangsaan
Indonesia Raya, Lembaga-Iembaga kenegaraan, Azas dasar
hukum lain-lain. Namun, ketika membicarakan Dasar Negara (4 November
1959) perbedaan tajam muncul dalam tiga
konfigurasi usulan ideologi : Islam, Pancasila, dan Sosial Ekonomi. Kubu Islam didukung Masyumi
(112 suara), NU (91), PSII
(16), Perti (7) dan 4 partai kecil
dengan total 230 suara. Kubu
Pancasila didukung PNI (116), PKI dan faksi Republik Proklamasi (80), Parkindo (16), Partai Katolik (10), PSI (10), IPKI (8) dan beberapa partai kecil
lain, dengan total 273 suara.
Sementara kubu Sosial
Ekonomi yang ingin mengembangkan sosialisme hanya didukung Partai
Buruh (5), Partai
Murba (4), dan Acoma/ Angkatan Comunis Muda (1).
Selah dibubarkannya konstituante, KH. Ali Mansur kembali masuk
ke jajaran Kementerian Agama dan menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian
Agama Kabupaten Banyuwangi, yang saat itu berkantor di Masjid Baiturrahman
Banyuwangi,hingga akhirnya pindah ke Jalan jaksa Agung Suprapto yang sekarang
bagunannya telah di bongkar dan ditempati gedung KUA Kecamatan Banyuwangi.
Disamping menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Banyuwangi. KH. Ali Mansur juga menjabat sebagai Ketua PCNU (Pimpinan
Cabang nahdlatul Ulama) Banyuwangi, yang pada masanya pergolakan politik di
ujung timur pulau jawa ini tak ubahnya sebagaimana perpolitikan di tanahair
pada waktu itu, kekuatan PKI dengan ideologi komunisnya nyaris menguasai semua
sendi sosial politik di masyarakat, begitu juga dengan seni dan Budaya.
Dalam berbagai rapat umum yang dilakukan PKI selalu menggunakan
seni dan budaya lokal serta lagu-lagu yang sudah merakyat, seperti gandrung dan
lain-lain, karenanya nahdlatul Ulama pada saat itu juga sepakat menggunakan
seni tari berupa seni Hadrah Kuntulan untuk menarik simpati masyarakat di
Kabupaten Banyuwangi, terutama di acara acara pengajian dan lain-lain. Penggunaan
seni hadrah kuntuan ini tadinya juga terjadi tari8k ulur dikalangan ulama
Banyuwangi, hal ini dikarnakan adanya perempuan yang ikut menari dalam atraksi
tersebut yang dianggap dapat mengundang maksiat, tetapi dengan berbagai
pertimbangan maka tari kuntulan ini dapat diterima.
Pada tahun 60-an merupakan masa gegap gempita
perpolitikan di Indonesia, pergolakan politik ditingkat atas tersebut juga
berdampak pada politik di Kabupaten Banyuwagi, perbedaan ideologi politik
antara NU dan Pki pada akhirnya juga menjadi akar persaingan yang ketat, kedua
belah kubu menggunakan berbagai cara untuk mempengaruhi massa, begitupun dengan
penggunaan seni dan budaya.
Partai komunis Indonesia menggunakan lagu genjer genjer yang
digubah oleh Muhammad Arif yang juga pencipta lagu dari Banyuwangi, lagu yang
diciptakan pada masa penjajahan jepang tersebut sedikit diubah lirikknya yang
disesuaikan dengan kepentingan mereka, sehingga pada masa itu lagu genjer
genjer identik dengan Paartai Komunis.