KH. Dimyati Syafii
Kiai Dim, sapaan Kiai Dimyati, terlahir dengan nama Muhibbut Thobari. Ia anak kesembilan dari sepuluh bersaudara, putra pasangan KH. Syafi’i dan Nyai Munthasiroh pada tahun 1912, di sebuah desa kecil, Wonokromo di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Dari jalur ayahnya,
Kiai Dim masih merupakan keturunan ketujuh dari Kiai Ageng Kalimundu. Tepatnya,
Kiai Dimyathi bin Kiai Syafi’i bin Kiai Irsyad bin Kiai Mubarok bin Kiai Ageng
Minak bin Kiai Ageng Kalimundu.
Terlahir
di keluarga terpandang (priyayi), membuat Thobari, panggilan masa kecil Kiai
Dimyati, memiliki akses pendidikan yang cukup. Ia dididik langsung oleh orang
tuanya.
Akan
tetapi, saat usia menginjak lima tahun, ayahandanya meninggal dunia. Kemudian,
pendidikannya dilanjutkan oleh pamannya, Kiai Kholil.
Dari
pendidikan dasar yang berkualitas itulah, terbentuk karakter Thobari yang haus
ilmu dan sosok yang sholeh. Karakter yang terbentuk hingga dewasa kelak.
Kegemaran
Thobari pada ilmu semakin kentara ketika pindah ke Banyuwangi. Pada 1922,
ibundanya, Nyai Munthasirah, hijrah ke ujung Timur Pulau Jawa itu. Ibunya yang
menjanda setelah ditinggal wafat orang tuanya mengadu nasib untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya.
Meski
berada di lingkungan keluarga terpandang dan berkecukupan, namun hal itu tak
membuat Nyai Munthasirah menggantungkan hidup pada uluran tangan keluarga
besarnya. Ia mendidik anak-anaknya untuk mandiri.
Di
Banyuwangi, Nyai Munthasirah dan anak-anaknya tinggal di Desa Kebaman,
Kecamatan Srono. Di tanah rantau inilah, ia membesarkan kesepuluh putra
putrinya. Dengan kerja keras dan doa yang tak pernah berhenti dilafalkan tiap
melakukan aktivitas.
Meski
keadaan ekonomi keluarga masih belum stabil, gejolak Thobari untuk menuntut
ilmu tak pernah padam. Setelah membujuk ibu yang sebelumnya menolak, Thobari
diperbolehkan untuk melanjutkan mengaji.
Ia mengaji
kepada KH. Abdullah Faqih di Pesantren Cemoro, Songgon. Sekitar 20 kilometer
dari kediaman orang tuanya.
Setahun
lamanya Thobari nyantri kepada kiai yang terkenal dengan ilmu haditsnya
tersebut. Kemudian, ia melanjutkan mengaji kepada Kiai Abdullah Sujak di
Pesantren Damsari, Sempu.
Tiga tahun
lamanya Thobari menuntut ilmu agama di sana. Baru pada tahun keempat ia
mengajukan izin kepada guru dan orang tuanya untuk melanjutkan belajar ke
Termas, Pacitan. Ia akan belajar kepada Syekh Dimyati At-Turmusi. Seorang ulama
besar tanah Jawa yang reputasinya tersohor hingga ke Timur Tengah.
Walaupun
keranjingan menuntut ilmu, Thobari menyadari betul beban berat sang ibu yang
hidup seorang diri merawat saudara-saudaranya. Oleh karena itu, ia tak ingin
membebani ibunya untuk menanggung biaya pendidikan. Ia berusaha untuk mencukupi
semua kebutuhannya dengan mandiri.
Seperti
halnya saat mondok di Termas, Thobari mengandalkan keahliannya dalam menyalin dan
memberi makna (Jawa: ngesahi) pada kitab kuning. Saat itu, percetakan kitab tak
semudah dan semurah saat ini. Jadi, untuk memiliki kitab tertentu, para santri
harus menulisnya secara langsung. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh Thobari
sebagai ladang usahanya.
Saat itu,
Thobari tidaklah seorang diri yang menghidupi dirinya dengan cara menjadi buruh
penulis kitab. Tapi juga diikuti oleh para santri lainnya. Salah satu kawannya
saat itu, ialah KH. Masduqi Lasem.
Mereka
menulis dan memberi makna beragam kitab. Mulai dari kitab-kitab dasar seperti
Jurumiyah, Safinah dan Taqrib, hingga kitab-kitab babon seperti halnya Fathul
Wahab, Ihya Ulumuddin, Tafsir Jalalain, dan Shohih Bukhori.
Dari
aktivitasnya menjadi buruh penulis kitab tersebut, Thobari meraih manfaat
ganda. Ia tak hanya mendapatkan upah dari kegiatannya tersebut, tapi juga
memberikan kesempatan untuk belajar yang lebih dibanding santri lainnya. Karena
ia harus mengkaji dan mempelajari kitab-kitab tersebut dalam intensitas yang
lebih.
Berkat
ketekunannya dalam belajar itulah, Thobari dikenal sebagai santri yang alim.
Kecerdasan tersebut, membuat kiainya, Syekh Dimyati begitu menyayanginya.
Sebagai bentuk rasa sayangnya, nama Muhibut Thobari diganti sebagaimana nama
gurunya tersebut, Dimyati.
Di Pesantren
Termas, Thobari atau yang telah berganti nama menjadi Dimyati itu, mengenyam
pendidikan selama tujuh tahun. Setelah dirasa cukup, sang ibu, Nyai Munthasirah
memintanya untuk pulang.
Sekembalinya
ke Banyuwangi, Dimyati muda mulai mendapatkan panggung di tengah masyarakat. Ia
mulai sering diundang mengisi pengajian keliling kampung. Ia pun dikenal dengan
sebutan Kiai Dimyati Syafi’i. Nama yang terakhir tersebut, dinisbatkan kepada
nama ayahnya.
Sebagai
ulama muda, Kiai Dim menjadi sosok yang cukup progresif. Ia merintis pesantren
yang diberi nama Darul Falah pada 1935. Namun, kelak, nama tersebut diganti
menjadi Nahdlatut Thulab. Sebuah nama yang mensiratkan semangat baru,
“Kebangkitan Para Santri”.
Kiprah
Kiai Dimyati sebagai ulama muda terus mendapat simpati masyarakat. Ia tak hanya
dikenal sebagai ulama yang mumpuni keilmuwannya, tapi juga sosok yang dikenal
aktif dalam dunia pergerakan. Pelan namun pasti, ia semakin di tokohkan.
Pada 1944,
atas restu para ulama di Bumi Blambangan, ia dipercaya sebagai Rois Syuriah
PCNU Blambangan, yang baru saja dirintis sebagai pengembangan dari PCNU
Banyuwangi, yang telah ada sebelumnya.
Memasuki
masa revolusi, dimana Belanda bersama Sekutu melakukan agresi militer lagi ke
Indonesia. Kiai Dim bersama para santri yang tergabung dalam barisan Hizbullah
tidak tinggal diam.
Ia aktif
memimpin gerilya melawan kompeni yang masuk ke Banyuwangi. Untuk mengelabui
Belanda, ia melakukan aktivitas tak ubahnya pesantren biasa. Pada siang hari
mereka mengaji sebagaimana biasa. Tapi tatkala malam mulai menyelimuti, mereka
mulai melakukan aksi-aksi penyerangan kepada pasukan Belanda yang berkeliaran.
Namun,
karena ada pengkhianatan dari salah seorang tetangga, aktivitas tersebut
terbongkar oleh Belanda. Pesantren Nahdlatut Thulab diserang dan dibumi
hanguskan oleh Belanda. Pesantren tersebut kembali dibangun pada 1952. Tiga
tahun setelah masa revolusi fisik telah berakhir.
Sosok Kiai
Dimyati yang muda, progresif dan alim tersebut, benar-benar mewarnai dunia ke
Islaman di Banyuwangi. Peranannya sebagai ulama dan aktivis pergerakan
mengukuhkannya sebagai tokoh besar. Meski demikian, Allah memiliki skenario
lain. Kiprahnya yang begitu luar biasa di usia muda, seolah mengejar target
pengabdian pada umat di usianya yang pendek.
Kiai Dimyati Syafi’i menghembuskan nafas terakhirnya pada 1955. Usianya kala itu baru menginjak 47 tahun. Ia meninggal dunia tatkala menunaikan ibadah haji bersama adik perempuannya, Maryam. Keduanya meninggal dunia dan dimakamkan di tanah suci Makkah.
Pesantren,
NU, dan setangkup perjuangan menjadi warisan darinya. Suatu simbol dari
semangat keilmuwan, perjuangan dan pengabdian yang patut diteladani oleh
generasi muda saat ini.