Gambar : hukumonline.com |
Prolog
Meskipun penyelesaian perkara kewarisan tidak secara langsung ditangani
oleh Kementerian Agama, namun dirasa sangat perlu Penyuluh Agama Islam yang
merupakan salah satu unsur dari Kementerian Agama, memberikan sedikit
penjelasan terkait penangan perkara kewarisan, baik perkara yang kewarisan yang
bersengketa (gugatan) atau sebatas penetapan kewarisan (permohonan). Persoalan
tentang kewarisan ini pada akhirnya tetap harus berdasarkan pada Putusan
Pengadilan Agama, selaku lembaga Peradilan yang memiliki wewenang untuk
memeriksa dan memutus persoalan kewarisan.
Permohonan Penetapan Ahli Waris PPAW diamanatkan secara tegas oleh Penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi:
“Yang
disebut dengan ‘waris’ adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris”.
Masalah kemudian bergulir pada “apakah seluruh ahli waris yang berhak wajib bertindak sebagai pihak dalam PPAW”? dan “Bagaimana jika pengajuan perkara tersebut kurang pihak atau plurium litis consortium?”. Untuk menjawab soal tersebut, setidaknya terdapat 4 (empat) tolok ukur yang dapat digunakan untuk menjawabnya.
Perspektif aturan perundang-undangan
Sebenarnya, jika dicermati secara seksama, penjelasan Pasal 49 Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 sudah memberi isyarat jawaban atas pokok masalah dalam
artikel ini. Penjelasan pasal 49 tersebut menyatakan:
“Yang disebut dengan ‘waris’ adalah penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang
tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing
ahli waris”.
Kata“penentuan siapa yang menjadi ahli waris” disebut dua kali dalam penjelasan tersebut. Dengan penyebutan yang
sama persis. Penyebutan pertama pada konteks perkara gugatan waris (kontensius). Penyebutan kedua dalam konteks permohonan penetapan ahli waris (voluntair). Penentuan siapa yang menjadi ahli waris dalam konteks kontensius (gugat waris), jelas tidak
ada tafsir lain selain: “penentuan siapa saja (seluruhnya) yang menjadi ahli
waris”. Lalu untuk perkara voluntair, mengapa harus direduksi menjadi
“penentuan [sebagian] siapa yang menjadi ahli waris”? reduksi ini tentu tidak
tepat. Makna “penentuan siapa yang menjadi ahli waris” dalam konteks PPAW harus disamakan dengan makna “penentuan siapa yang menjadi ahli
waris”. Yakni: “penentuan siapa saja
(seluruhnya) yang menjadi ahli waris”. Teks undang-undang telah
menafsirkan sendiri atas kehendak makna “penentuan siapa
yang menjadi ahli waris”.
Selanjutnya,
secara lebih gamblang, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017
menyatakan:
“Serta
gugatan dalam perkara kewarisan dan permohonan pembagian harta waris menurut
hukum Islam harus menempatkan semua ahli waris yang berhak sebagai pihak.
Jika tidak, Pengadilan atau hakim yang ditunjuk sebelum penetapan majelis
hakim, dapat memberi petunjuk untuk memperbaikinya. Apabila tidak diperbaiki,
maka perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima”.
Meski dalam Surat Edaran tersebut menggunakan diksi “permohonan
pembagian harta waris”, namun jika pilihan
kata tersebut dibaca
melalui perspektif buku II, maksud
kata tersebut adalah “perkara Permohonan Penetapan Ahli
Waris”. Atau setidaknya, dapat dipahami bahwa permohonan penentuan ahli waris
adalah bagian dari permohonan pembagian harta waris itu sendiri. Mustahil
kiranya sebuah waris dapat ditentukan porsinya, tanpa menetapkan siapa ahli warisnya
terlebih dahulu.
Kedua aturan perundang-undangan tersebut, secara jelas menghendaki bahwa seluruh ahli waris yang berhak wajib menjadi pihak dalam sebuah PPAW. Jika tidak, maka permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima.
Perspektif tujuan hukum
Hukum adalah perangkat pengatur agar kehidupan manusia berjalan lancar, tidak saling tubruk, dan berkeadilan. Sebagaimana lazimnya pengetahuan, hukum tidak lahir di ruang hampa. Ia lahir berpijak pada arus komunikasi manusia untuk mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya kemampatan yang disebabkan okleh potensi-potensi negatif yang ada pada manusia. Bertolak dari deskripsi tersebut, maka salah satu tujuan hukum adalah kepastian. Kepastian hukum adalah sebuah jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan baik dan tepat. Dalam konteks ini, menetapkan sebagian ahli waris saja, dengan mengabaikan ahli waris lainnya, tentu memantik ketidakpastian hukum: berpotensi menimbulkan hukum pembagian waris tidak baik dan tepat. Meski peluang bagi ahli waris lain yang tidak ditetapkan sebagai ahli waris untuk mendapat keadilan tetap tersedia, tetapi tentu hal tersbut bertolak belakang dengan spirit kepastian hukum itu sendiri.
Perspektif fungsi hukum
Fungsi hukum
dalam konteks pembangunan peradaban manusia adalah sebagai media Pembaharu
dalam kehidupan masyarakat. Roscoe Pound menyebut law as tool of
social engineering. Menurut Pound, hukum bukan hanya merupakan kumpulan
norma-norma abstrak atau tertib
hukum. Tetapi juga merupakan proses penyeimbangan antara nilai-nilai dan
kepentingan- kepentingan yang saling
bertentangan. Proses tersebut akhirnya menciptakan keseimbangan
baru, yang membuat masyarakat terekayasa menuju keadaan baru yang lebih baik.[1]
Teori law as a tool of social engineering juga dapat diartikan
bahwa hukum adalah sarana untuk merubah perilaku masyarakat dari kondisi kurang baik menuju lebih
baik. Dari perilaku yang menyimpangi hukum menuju pranata kehidupan yang sesuai
dengan kaidah-kaidah, norma- norma, dan aturan yang berlaku yang telah ditetapkan. Atau bahkan dapat juga berfungsi sebagai
media prefentif-antisipatif untuk
menghindari penyimpangan norma.
Penetapan pengadilan dalam PPAW, sebagai salah satu bagian dari hukum itu sendiri, juga harus memosisikan dirinya sebagai a tool of social engineering. Penetapan pengadilan harus mampu menjadi patron bagi penyelesaian kewarisan dengan tanpa sengketa. Segala catatan buruk tentang adanya ahli waris bertindak menguasai sendiri, bahkan menjual sendiri tirkah pewaris, padahal masih ada ahli waris lain yang berhak, tentu harus diperbaiki oleh hukum. Hukum harus mencegah penyimpangan demi penyimpangan tersebut. Untuk tujuan itu, maka cara yang paling efektif adalah menetapkan seluruh ahli waris yang berhak sebagai ahli waris. Tidak boleh ada hak ahli waris lain yang terlewatkan haknya.
Perspektif asas hukum
Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
Itulah asas penyelenggaraan peradilan. Konstitusi menghendaki peradilan tidak boleh diselenggarakan dengan
bertele-tele, lambat, dan biaya tinggi. Sederhana, cepat, dan biaya
ringan tidak hanya diukur dari satu sudut kepentingan. Dalam konteks artikel
ini: kepentingan sebagian ahli waris yang menghendaki penetapan pengadilan dengan
mengabaikan kepentingan ahli waris lainnya.
Asas tersebut harus dimaknai
secara integral-komperehensif. Menetapkan sebagian ahli waris dengan mengabaikan ahli waris yang berhak
lainnya justru membuat
peradilan itu akan panjang dan berlarut, memakan
waktu lama, dan tentu berbiaya tinggi. Bayangkan saja jika masing-masing
ahli waris mengajukan permohonannya
sendiri-sendiri. Belum lagi jika ada ahli waris yang tidak ditetapkan
mengajukan perlawanan dengan gugatan
baru. Tentu ini tidak linear
dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Epilog
Terdapat empat tolok ukur pendapat terkait dapat atau tidaknya sebuah PPAW yang kurang pihak untuk dikabulkan. Pendapat terkuat, menurut perspektif aturan perundang-undangan, tujuan hukum, fungsi hukum, dan asas hukum adalah: PPAW yang kurang pihak harus dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaart (NO). Namun demikian, hukum tidak boleh bersifat kaku dan arogan. Jika ternyata sebuah permohonan diketahui kurang pihak, maka ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk seyogyanya memberi advis perbaikan permohonan. Perbaikan dapat dilakukan sebelum adanya penetapan majelis hakim atau dalam persidangan (saat pembacaan permohonan). Sifat pemberian advis tersebut, bukan hanya dapat (mubah), tapi sudah anjuran (sunnah). Demi terciptanya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Jika ternyata advis tersebut diabaikan, barulah hakim secara tegas menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena plurium litis consortium.
Artikel Oleh :
Wahyu Fadhli Pribadi, S.H.
Ahli Pertama - Penyuluh Agama Islam pada KUA Tegaldlimo