Kepatuhan dalam Beragama: Antara Perintah dan Larangan Rasulullah
Oleh: Chaironi Hidayat
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pedoman hidup yang jelas bagi umatnya. Pedoman ini disampaikan melalui wahyu Allah dalam Al-Qur'an dan diperkuat oleh sabda serta teladan Rasulullah ﷺ dalam hadis. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah bersabda:
"Apa yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengandung pesan mendalam tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya menjalani kehidupannya. Larangan harus dihindari sepenuhnya, sedangkan perintah dikerjakan sesuai kemampuan. Prinsip ini memberikan keseimbangan dalam menjalankan ajaran Islam dan menjadi panduan bagi setiap Muslim dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
Dalam Islam, hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak. Seorang Muslim tidak boleh mencari celah atau alasan untuk melanggarnya. Sebagai contoh, perbuatan seperti minum minuman keras, mencuri, berzina, atau berdusta telah dilarang secara tegas dalam Al-Qur'an dan hadis. Tidak ada ruang bagi seorang Muslim untuk mengatakan, "Saya melakukan ini karena keadaan tertentu," karena larangan tersebut harus dipatuhi sepenuhnya tanpa pengecualian.
Sikap kepatuhan terhadap larangan ini merupakan bentuk ketundukan kepada Allah. Jika seseorang tetap melanggar larangan yang sudah jelas, maka ia telah menempatkan hawa nafsunya di atas perintah Allah. Hal ini berbahaya karena dapat menyeret seseorang kepada perbuatan dosa yang lebih besar.
Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menemukan orang yang mencoba mencari alasan untuk menghalalkan sesuatu yang telah dilarang. Misalnya, ada yang mengatakan bahwa riba diperbolehkan dalam kondisi tertentu karena alasan ekonomi. Padahal, Islam telah dengan jelas mengharamkan riba dalam kondisi apa pun. Sikap mencari celah seperti ini dapat membawa seseorang pada penyimpangan yang lebih besar.
Berbeda dengan larangan yang harus dijauhi secara mutlak, perintah dalam Islam bersifat fleksibel sesuai kemampuan individu. Islam adalah agama yang memberikan kemudahan, bukan kesulitan. Dalam hal ibadah seperti salat, puasa, dan haji, ada keringanan bagi mereka yang memiliki keterbatasan.
Sebagai contoh, seseorang yang tidak mampu berdiri dalam salat diperbolehkan untuk duduk. Jika tidak mampu duduk, maka boleh salat dengan berbaring. Begitu juga dengan puasa, jika seseorang sakit atau dalam perjalanan, ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di kemudian hari. Dalam ibadah haji, jika seseorang tidak mampu secara fisik atau finansial, maka kewajiban itu gugur darinya.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan rahmat dan kemudahan. Tidak ada paksaan dalam menjalankan perintah yang berada di luar kemampuan seseorang. Namun, perlu diingat bahwa kemudahan ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bermalas-malasan dalam beribadah.
Hadis yang kita bahas juga menyinggung kebiasaan orang-orang terdahulu yang hancur karena terlalu banyak bertanya dan memperdebatkan ajaran agama. Dalam sejarah Islam, kita bisa melihat bagaimana kaum Bani Israil sering kali mempertanyakan perintah Allah dengan cara yang berlebihan.
Contoh yang paling terkenal adalah kisah perintah penyembelihan sapi dalam Surah Al-Baqarah. Awalnya, Allah hanya memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi. Namun, karena mereka terus bertanya tentang detail sapi tersebut—warna, usia, dan lainnya—akhirnya perintah itu menjadi semakin berat bagi mereka sendiri.
Di zaman sekarang, kita juga sering melihat fenomena serupa. Banyak orang yang terlalu sibuk memperdebatkan hal-hal kecil dalam agama, tetapi melupakan esensi ajaran Islam itu sendiri. Misalnya, ada yang lebih sibuk mempertanyakan teknis bacaan doa atau jumlah rakaat salat tertentu, tetapi lalai dalam menegakkan kejujuran, keadilan, dan kepedulian sosial.
Terlalu banyak bertanya dalam hal-hal yang tidak perlu dapat membuat ajaran Islam terasa sulit dan berat. Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim, kita harus memahami bahwa Islam adalah agama yang praktis dan mudah diikuti. Kita tidak perlu mempersulit diri dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru menjauhkan kita dari esensi ajaran Islam.
Hadis yang kita bahas diriwayatkan oleh Abu Hurairah, salah satu sahabat Rasulullah yang paling banyak meriwayatkan hadis. Nama asli beliau adalah Abdurrahman bin Shakhr, tetapi lebih dikenal dengan julukan Abu Hurairah, yang berarti "bapak kucing kecil" karena kecintaannya terhadap kucing.
Abu Hurairah adalah sahabat yang luar biasa dalam menghafal hadis. Meskipun hanya bersama Rasulullah selama sekitar empat tahun, beliau mampu menghafal lebih dari 5.000 hadis. Salah satu rahasia kemampuannya dalam menghafal hadis adalah keberkahan doa Rasulullah dan kegigihannya dalam belajar serta menghafal.
Keteladanan Abu Hurairah mengajarkan kita tentang pentingnya ilmu dan kedekatan dengan ajaran Rasulullah. Jika kita ingin memahami Islam dengan baik, kita harus rajin belajar dan tidak hanya mengandalkan informasi yang tidak jelas sumbernya.
Hadis yang kita bahas memberikan pedoman penting dalam kehidupan beragama. Kita harus menjauhi segala larangan secara mutlak dan menjalankan perintah sesuai kemampuan. Selain itu, kita juga harus bijak dalam memahami ajaran Islam, tidak terlalu banyak bertanya dalam hal yang tidak perlu, dan lebih fokus pada esensi ajaran agama.
Di tengah tantangan zaman modern, di mana banyak orang mulai mencari-cari alasan untuk melanggar aturan agama, kita harus tetap teguh dalam prinsip-prinsip Islam. Kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kunci keselamatan di dunia dan akhirat.
Sebagai Muslim, mari kita berusaha menjalani kehidupan dengan tetap berpegang teguh pada ajaran Islam tanpa mencari-cari alasan untuk melanggarnya. Semoga kita semua bisa menjadi hamba yang taat dan mendapatkan rahmat dari Allah. Aamiin.