Memahami Konteks Hadis tentang Perang dan Kesejahteraan dalam Islam
Oleh: Chaironi Hidayat
Pendahuluan
Dalam Islam, hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Hadis menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, termasuk dalam memahami konsep jihad dan ekspansi Islam di masa Rasulullah dan sahabat. Salah satu hadis yang sering disalahpahami adalah pernyataan Rasulullah:
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, serta membayar zakat."
Banyak yang menganggap hadis ini sebagai justifikasi bahwa Islam disebarkan dengan pedang, tanpa memahami konteks sejarah dan tujuan sebenarnya dari ekspansi Islam pada masa awal. Kajian ini berusaha mengupas makna hadis tersebut dalam perspektif yang lebih luas, agar tidak terjebak dalam pemahaman yang sempit dan ekstrem.
Abdullah bin Umar: Sahabat Unik yang Mencintai Rasulullah
Hadis ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, seorang sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah. Sejak kecil, ia memiliki kecintaan luar biasa terhadap ajaran Islam dan berusaha meneladani setiap perilaku Nabi.b
Salah satu bukti kecintaannya adalah ketika ia berusaha mengikuti perang Badar pada usia 13 tahun. Namun, Rasulullah menolaknya karena ia masih terlalu muda. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak serta-merta mengajak umatnya untuk berperang, apalagi tanpa mempertimbangkan kesiapan fisik dan mental seseorang.
Dalam konteks hadis ini, Abdullah bin Umar tidak hanya meriwayatkan, tetapi juga memahami esensi ajaran Islam yang sesungguhnya. Ia hidup di masa ketika Islam berkembang pesat, baik melalui dakwah maupun ekspansi wilayah, tetapi tetap menekankan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama.
Konteks Hadis: Perang sebagai Upaya Menegakkan Keadilan
Hadis tentang perintah memerangi manusia sering disalahartikan sebagai ajakan untuk berperang tanpa alasan yang jelas. Padahal, dalam sejarah Islam, ekspansi wilayah tidak semata-mata dilakukan untuk menaklukkan, melainkan untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan.
Ketika Rasulullah dan para sahabat menyebarkan Islam, mereka menghadapi banyak tantangan, termasuk penindasan dari penguasa zalim. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, perang menjadi jalan terakhir untuk membebaskan masyarakat dari kezaliman.
Misalnya, di masa Sayyidina Umar bin Khattab, ekspansi Islam ke berbagai wilayah seperti Persia dan Romawi tidak serta-merta membawa kehancuran. Justru, masyarakat yang berada di bawah kekuasaan Islam merasakan keadilan yang lebih baik dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Pajak yang dikenakan lebih ringan, hak-hak warga lebih dihormati, dan kesejahteraan lebih merata.
Hadis ini juga menegaskan tiga syarat utama bagi seseorang untuk tidak diperangi oleh Rasulullah dan kaum Muslim:
- Syahadat: Mengakui keesaan Allah dan kerasulan Muhammad.
- Shalat: Mendirikan shalat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.
- Zakat: Berbagi rezeki dengan yang membutuhkan.
Menariknya, dalam hadis ini, tidak disebutkan puasa dan haji, padahal keduanya termasuk dalam rukun Islam. Hal ini karena pada saat hadis ini diucapkan, puasa dan haji belum diwajibkan. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam berkembang secara bertahap, tidak serta-merta diberlakukan secara penuh sejak awal.
Lebih jauh, zakat dalam hadis ini menegaskan bahwa Islam bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga tanggung jawab sosial. Dalam sistem ekonomi Islam, zakat menjadi instrumen untuk menciptakan keseimbangan sosial dan mengurangi ketimpangan ekonomi.
Jika kita melihat sejarah, setiap wilayah yang ditaklukkan pasukan Islam justru menjadi lebih makmur. Ini karena Islam membawa sistem hukum dan pemerintahan yang lebih adil dibandingkan penguasa sebelumnya. Bahkan, banyak warga non-Muslim yang memilih tetap tinggal di bawah pemerintahan Islam karena merasa lebih sejahtera
Rasulullah tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berperang tanpa alasan yang jelas. Dalam setiap pertempuran, beliau selalu memberikan arahan agar tidak menyakiti wanita, anak-anak, dan orang tua, serta tidak merusak lingkungan.
Prinsip ini juga diterapkan oleh para khalifah setelah Rasulullah. Misalnya, ketika pasukan Islam memasuki suatu wilayah, mereka selalu memberikan tiga pilihan:
- Masuk Islam: Jika penduduk menerima Islam, maka mereka menjadi bagian dari umat Muslim dengan hak dan kewajiban yang sama.
- Membayar Jizyah: Jika tidak ingin masuk Islam, mereka bisa tetap mempertahankan keyakinan mereka dengan syarat membayar pajak jizyah sebagai bentuk perlindungan dari negara Islam.
- Perang: Jika mereka menolak kedua opsi di atas dan tetap ingin berperang, maka pasukan Islam akan melawan mereka.
Dari sini, jelas bahwa perang bukanlah tujuan utama Islam, melainkan jalan terakhir untuk menegakkan keadilan.
Kesalahpahaman tentang Islam dan Perang
Salah satu penyebab Islam sering dianggap sebagai agama perang adalah karena banyaknya narasi sejarah yang menyoroti aspek pertempuran, tetapi mengabaikan sisi kesejahteraan yang dibawa Islam.
Banyak kerajaan dan negara saat itu justru merasa lega ketika pasukan Islam datang, karena mereka tahu bahwa pemerintahan Islam lebih adil. Bahkan, dalam banyak kasus, rakyat biasa justru menyambut pasukan Islam karena mereka tahu bahwa hidup mereka akan lebih baik di bawah pemerintahan Muslim.
Sayangnya, narasi yang berkembang di dunia modern sering kali menekankan bahwa Islam hanya berkembang dengan pedang. Ini adalah pemahaman yang tidak utuh dan cenderung bias.
Hadis tentang perintah memerangi manusia bukanlah ajakan untuk melakukan kekerasan, melainkan perintah untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan.
Perang dalam Islam bukanlah tujuan, melainkan jalan terakhir untuk membebaskan manusia dari kezaliman. Sejarah mencatat bahwa ekspansi Islam tidak hanya membawa kemenangan militer, tetapi juga kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat yang ditaklukkan.
Oleh karena itu, kita perlu memahami Islam dengan perspektif yang lebih luas, bukan hanya dari aspek peperangan, tetapi juga dari sisi keadilan, kesejahteraan, dan rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam.