Takdir, Ilmu, dan Pilihan Manusia
Oleh: Chaironi Hidayat
Perbincangan tentang penciptaan manusia dan takdir selalu menjadi topik menarik yang mengundang berbagai perspektif, baik dari sisi teologi, filsafat, maupun sains. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan proses penciptaan manusia di dalam rahim, yang terdiri dari beberapa fase:
- Zigot – selama 40 hari pertama, yaitu perpaduan antara sperma dan sel telur yang kemudian berkembang.
- Segumpal darah (‘alaqah) – 40 hari berikutnya.
- Segumpal daging (mudhghah) – 40 hari setelahnya.
- Peniupan ruh – pada usia kandungan empat bulan, bersamaan dengan penulisan takdir manusia oleh malaikat.
Pada titik inilah kita sampai pada perbincangan yang lebih mendalam tentang takdir, karena dalam fase ini malaikat menetapkan empat hal bagi setiap manusia: rezeki, umur, amal, serta apakah ia akan menjadi orang yang bahagia atau celaka di akhirat.
Takdir: Antara Ketetapan dan Ikhtiar
Hadis ini sering menimbulkan pertanyaan: jika segala sesuatu sudah ditetapkan sejak dalam kandungan, apakah manusia masih memiliki kebebasan dalam hidupnya? Apakah usaha dan doa masih memiliki makna?
Dalam pemahaman Islam, takdir bukan sekadar ketetapan statis, tetapi merupakan sistem yang memiliki variabel-variabel. Allah tidak serta-merta menentukan nasib seseorang tanpa adanya faktor penyebab. Sebagaimana dalam penciptaan hujan, Allah tidak langsung "menurunkan" air dari langit, melainkan menciptakan prosesnya: ada panas matahari, penguapan air laut, pembentukan awan, hingga akhirnya turun sebagai hujan.
Demikian pula dengan manusia. Takdir seseorang dibentuk oleh banyak faktor, seperti lingkungan keluarga, pendidikan, pergaulan, dan pilihan yang dibuatnya sepanjang hidup. Seorang anak yang lahir dalam keluarga dengan pola asuh yang baik tentu memiliki peluang besar untuk tumbuh menjadi pribadi yang baik, meskipun pada akhirnya ia tetap memiliki kebebasan memilih jalan hidupnya sendiri.
Antara Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Agama
Menariknya, hadis ini yang diucapkan lebih dari 1400 tahun yang lalu ternyata selaras dengan penemuan ilmu biologi modern tentang tahapan perkembangan janin. Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan sejati tidak bertentangan dengan agama, melainkan justru memperkuat keyakinan terhadap kebenaran ajaran Islam.
Dalam filsafat, kita mengenal beberapa macam kebenaran:
- Kebenaran Dogmatis – sesuatu yang diterima begitu saja tanpa perlu pembuktian (seperti keimanan kepada Allah).
- Kebenaran Ilmiah – sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan eksperimen.
- Kebenaran Filosofis – sesuatu yang diyakini benar melalui perenungan mendalam.
- Kebenaran Hipotesis – sesuatu yang baru berupa dugaan dan masih menunggu pembuktian.
Hadis tentang penciptaan manusia awalnya diterima sebagai kebenaran dogmatis oleh para sahabat, karena mereka yakin bahwa Rasulullah tidak berbicara kecuali dengan wahyu. Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan, hadis ini juga terbukti sebagai kebenaran ilmiah, sehingga semakin memperkuat keyakinan kita akan kebenaran Islam.
Kesimpulan: Pilihlah Takdir yang Baik
Jika semua sudah ditetapkan, apakah kita masih perlu berusaha?
Jawabannya: Ya! Karena usaha kita adalah bagian dari variabel yang menentukan takdir kita. Ibarat seseorang yang sedang berada di persimpangan jalan, ia bisa memilih jalur mana yang akan ditempuh, dan setiap pilihan memiliki konsekuensinya.
Oleh karena itu, tugas kita bukanlah pasrah dan menyerah pada takdir, tetapi memilih variabel-variabel yang mengarah pada takdir yang baik. Berdoa, berusaha, dan berbuat kebaikan adalah bagian dari proses yang akan membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik, di dunia maupun di akhirat.
Maka, mari kita terus berikhtiar dengan keyakinan bahwa setiap langkah yang kita ambil adalah bagian dari skenario besar yang telah Allah tetapkan dengan penuh kebijaksanaan. Wallahu a’lam bish-shawab.